Sejumlah Keganjilan Sebelum Satu Keluarga Lakukan Bom Bunuh Diri di Gereja
"Warga dievakuasi jam 16.30 WIB. Semuanya ngumpul, diminta jangan panik dan tetap tenang. Dan diberi tahu ada penggerebekan teroris. Disuruh keluar katanya takut kalau ada bom yang bisa memakan korban," ujarnya saat ditemui Senin (14/5/2018) di Musala Al Ikhlas di perumahan setempat.
Khorihan bercerita, Dita Upriyanto (48), pelaku pengeboman merupakan sosok yang ramah, dermawan, gemar menyapa warga lainnya dan rajin melakukan salat berjamaah lima waktu di musala perumahan. Bahkan menurutnya, Dita sering mengajak kedua anaknya yakni Yusuf Fadil (18) dan FH (16) untuk salat berjamaah di Musala Al Ikhlas, bahkan salat subuh juga.
"Pak Dita langsung masuk ke musala setelah iqamah. Pulangnya setelah salat salam beberapa saat langsung pulang sebelum semua orang selesai zikir dan pulang. Tak pernah terjadi dialog. Begitu pula sang anak," ujarnya.
Sementara sang istri Puji Kuswanti (43) yang juga menjadi pelaku bom bunuh diri di GKI Diponegoro, Surabaya juga diakui warga sebagai sosok yang ramah, menjadi donatur tetap musala, gemar ikut arisan PKK perumahan, aktif ikut pengajian di kompleks perumahan, dan kerap bertegur sapa dengan ibu-ibu perumahan setempat.
"Beliau Bu Dita donatur rutin musala. Arisan terakhir Maret dengan Bu Mudji. April tidak ikut. Memang arisan kita bulanan. Di arisan biasa saja, berpakaian juga biasa, berjilbab biasa, ramah, dan mudah akrab dengan orang. Kadang kalau ketemu nyapa itu teriak manggil nama saya dari dalam rumah" kata istri Khorihan.
Pak dita suka pakai celana kain dengan ukuran normal seperti kebanyakan, namun kebanyakan berwarna gelap yang dipakai. Setahu yang saya lihat tidak pernah pakai sarung," tukasnya.
Ketua RT juga menyebutkan sering berkunjung ke rumah Dita untuk menawarkan berkurban saat Idul Adha tiba. "Sering masuk ke rumahnya saat menjelang Idul Adha. Ya tidak ada yang aneh di dalam rumah," tutur Khorihan.
Hal yang sama diungkapkan tetangga Dita sekaligus Ketua RW Perumahan Wisma Indah Wonorejo, Taufik Gani (60), bahwa pada kesehariannya Dita beserta keluarga seperti layaknya warga lainnya. "Orang yang biasa bergaul, bahkan diajak ngobrol oleh tetangga-tetangganya. Rumahnya terbuka, pagarnya ram-raman bisa dilihat dari luar," ujar Taufik ditemui di kediamannya yang berjarak empat rumah dari pelaku bom bunuh diri.
Namun satu kejanggalan terkuak dari istri Khorihan, bahwa keluarga Dita tak pernah mau diminta memberi fotokopi KTP dan Kartu Keluarga (KK), bahkan untuk sekadar menunjukkan ke pihak RT pun, Dita enggan melakukannya. "Tidak mau ngasih KK dan KTP, bahkan menunjukkan pun tidak mau. Begitupun menunjukkan KTP juga tidak mau," ujar istri Pak RT ini.
Namun keterangan berbeda diberikan sang suami sekaligus Ketua RT 02 RW 03, di mana pihaknya mengaku lupa memberi tahu penyerahan identitas KTP kepada pelaku bom bunuh diri yang turut meninggal dunia ini. "Saya juga heran kenapa hanya dia saja yang identitasnya tidak ada di saya, warga lain padahal semua ada," terang pria yang sudah menjabat RT sejak tahun 1998 ini.
"Biasanya suka cium tangan dan pelukan sama anaknya seusai salat tapi pas itu tidak tahu kenapa anak laki-laki keduanya menangis. Ya sekitar salat maghrib pada Sabtu lalu. Kan itu tidak biasa," ujar pria berbaju putih tersebut.
Rasa tidak percaya juga ditunjukkan Taufik selaku tetangga dan Ketua RW setempat. "Sama sekali tidak ada yang menduga. Kita juga tidak tahu," kata dia.
Saat ini rumah Khorihan yang terletak di Perumahan Wisma Indah Blok K 22 sudah terpasang papan triplek menutupi seluruh bagian depan rumah dengan garis polisi di depan papan triplek. Sementara di luar rumah, anggota kepolisian dan TNI masih berjaga entah sampai kapan dilakukan.
Post a Comment