Header Ads

Cerita Sex Terbaru Memek Kakak Yang Aku Dorong Sampai Hamil


Cerita Sex Terbaru Memek Kakak Yang Aku Dorong Sampai Hamil

Cerita Sex Terbaru Memek Kakak Yang Aku Dorong Sampai Hamil – Ketika aku mulai menempati rumah yang baru kubeli, sejumlah warga mengingatkan bahwa Pak Rasjo tetangga terdekat rumahku berperilaku kasar. Pria yang berprofesi sebagai penarik becak itu, kata para tetangga, di samping suka berjudi dan mabuk-mabukan juga sering melakukan tindak kekerasan pada istri dan anaknya.

“Mendingan Mas Anto pura-pura tidak dengar deh kalau dia lagi bertengkar dengan istrinya,” kata Pak Samiun, yang menjabat selaku RT di lingkungan tempat tinggalku suatu hari ketika aku menyelenggarakan acara syukuran dan perkenalan dengan warga sekitar.Sebab kalau urusan rumah tangganya dicampuri, kata Pak Samiun, Pak Rasjo yang mengaku pernah menjadi preman di Jakarta juga tak segan main kasar. Sedikit-sedikit ia membawa golok dan mengancam. Hingga warga sekitar malas berurusan dengan Pak Rasjo.

Sebenarnya kasihan sama Bu Mumun (istri Pak Rasjo). Ia orangnya baik tetapi sering menjadi korban kekasaran suaminya. Tetapi karena orang-orang sungkan berurusan dengan suaminya, maka warga tidak dapat berbuat banyak,” ujar Pak Samiun lagi.
Usia Pak Rasjo, sekitar 53 tahun sedangkan Bu Mumun mungkin sekitar 50 atau 51 tahun. Kehidupan keluarga dengan dua anak yang menginjak remaja itu, dengan hanya mengandalkan pendapatan Pak Rasjo dari menarik becak tentu saja hidup mereka pas-pasan. Apalagi dengan perilaku buruk Pak Rasjo yang gemar berjudi dan mabuk minum arak.
Menurut para tetangga, sewaktu Bu Mumun masih melayani jasa pijat dari orang-orang yang membutuhkan pijatannya kehidupan ekonomi keluarga Pak Rasjo lumayan baik. Pijatan Bu Mumun dikenal enak hingga banyak pelanggannya bahkan sampai ke luar kampung. “Tetapi Pak Rasjo orangnya sangat cemburuan banget,” kata Bu Salamah, istri Pak Samiun.
Apalagi kalau tahu Bu Mumun baru memijat pasien laki-laki, perasaan cemburu Pak Rasjo meninggi. Ia mencari-cari alasan untuk bertengkar dengan sang istri yang berlanjut dengan berbagai tindak kekerasan. Bu Mumun sangat sering mendapat tempelengan, pukulan dan tendangan dari suaminya. Bahkan pernah ia disundut rokok hingga beberapa bagian tubuhnya melepuh.
“Bu Mumum bukan hanya kesulitan menghadapi masalah ekonomi keluarga tetapi ia tidak bisa melawan. Orang-orang juga takut menolong saat mereka lagi bertengkar karena kekasaran Pak Rasjo,” ujar Bu Salamah.
Karena kekasaran suaminya itu Bu Mumun sudah setengah tahun lebih tidak memijat lagi. Ia lebih memilih berhadapan dengan masalah sulitnya ekonomi ketimbang harus menghadapi tindak kekerasan yang dilakukan sang suami.
Menurut versi Bu Salamah dan beberapa tetangga, sebelum menjadi istri Pak Rasjo, Bu Mumun bekerja sebagai pembantu di sebuah keluarga kaya di Jakarta. Pak Rasjo adalah tukang becak yang biasa mangkal di dekat rumah majikan Bu Mumun.
Di masa muda, Bu Mumun terbilang cantik dengan tubuh montok dan berkulit bersih. Karenanya sang majikan tergiur dan terjadi skandal. Saat hamil, untuk menutupi aib, keluarga majikan tersebut mendekati Pak Rasjo. Tukang becak itu ditawari uang sangat besar untuk bisa beli rumah dan modal usaha asal mau mengawini Bu Mumun. Maka jadilan ia menjadi istri Pak Rasjo sampai sekarang.

“Dewi anak Bu Mumun dengan majikannya kini sudah berkeluarga dan tinggal di Surabaya. Ia jarang pulang karena perlakuan Pak Rasjo yang kasar,” ungkap Bu Salamah menambahkan.
Mungkin karena persoalan masa lalu itulah kecemburuan Pak Rasjo sangat berlebihan. Apalagi katanya Pak Rasjo memang sangat mencintai Bu Mumun sebelum wanita itu dihamili oleh majikannya. Bawaannya menjadi selalu curiga setiap istrinya berdekatan dengan laki-laki lain.
Aku mempercayai cerita versi warga sekitar terkait masalah keluarga Pak Rasjo di masa lalu. Di masa lalu, Bu Mumun pasti tergolong wanita menarik. Sebab di usianya sekarang ini, wanita yang selalu berpakaian sederhana itu masih memancarkan sisa-sisa kecantikannya. Kalau ekonominya cukup dan mau berdandan, aku kira ia cukup pantas menjadi istri pejabat.
Di banding rumah-rumah warga lainnya, rumahku bisa dibilang terpisah. Rumahku dan rumah Pak Rasjo terpisah oleh kebun singkong lumayan luas dengan rumah-rumah warga lainnya. Praktis aku menjadi tetangga paling dekat keluarga Pak Rasjo dan selalu mendengar setiap pertengakaran di rumah keluarga itu yang memang sering terjadi.
Kalau sedang bertengkar, suaranya sangat ribut. Sepertinya semua benda yang ada menjadi sasaran kemarahan Pak Rasjo. Kerap dibarengi suara tangis Lasmi dan Rio, dua anak mereka yang masih berusia belasan tahun. Bahkan terkadang Bu Mumun terdengar menangis dan seperti meminta belas kasihan suaminya.
Awalnya, seperti yang disarankan para tetangga, aku tak terlalu peduli. Tetapi lama kelamaan aku tak bisa tinggal diam. Apalagi istriku selalu mendorong agar aku bertindak karena merasa tidak tega mendengar Bu Mumun dan dua anaknya dikasari oleh Pak Rasjo. “Kekerasan dalam rumah tangga juga merupakan tindak pidana mas. Kita tidak salah kalau ikut menegur Pak Rasjo karena demi keselamatan Bu Mumun dan ana-anaknya,”kata Nuning, istriku suatu malam saat mendengar keributan dan tangis Bu Mumun.
Nuning memang sering menyempatkan ngobrol dengan wanita itu. Bahkan ia sering sengaja masak banyak agar bisa berbagai dengan keluarga itu. Aku pun demikian. Saat mereka kesulitan membayar biaya sekolah anak-anaknya atau aliran listriknya terancam dicabut akibat menunggak beberapa bulan, kuulurkan sejumlah uang untuk membantunya.

Pak Rasjo sendiri sebenarnya baik saat tidak mabuk meski memang agak kasar. Tetapi saat dipengaruhi alkohol, ia benar-benar di luar kontrol. Sangat congkak dan menyebalkan. Mungkin karena itulah para tetangga menjadi menjauh. Aku menjadi nekad bertindak untuk melawan kekasaran Pak Rasjo ketika kekerasannya kepada keluarganya dirasa tak dapat ditolerir.
Pagi itu setelah mengantar istri ke kantornya di sebuah perusahaan swasta, aku kembali ke rumah karena ada beberapa berkas penting yang tertinggal. Setelah sampai di depan rumah dan tengah mematikan mesin motor, kudengar suara Pak Rasjo marah-marah. Juga suara Bu Mumun terdengar terisak. Dua anaknya mungkin sudah berangkat ke sekolah hingga tidak terdengar tangisannya.
Karena sudah sering terjadi, aku tidak terlalu peduli. Namun lama-kelamaan, saat aku tengah mencari-cari berkas yang hendak kuambil, bukan hanya barang pecah belah yang terdengar dibanting dari arah rumah Pak Rasjo. Tetapi suara tangis Bu Mumun terdengar kian keras dan memelas.
Aku merasa terpanggil untuk segera mengambil tindakan ketika kudengar tangis Bu Mumum berubah menjadi jerit kesakitan dan berteriak meminta tolong. Aku langsung keluar dan mengetuk pintu rumah Pak Rasjo yang terkunci dari dalam sambil meminta agar dia berhenti menganiaya istrinya.
Namun dalam nada tinggi ia memintaku untuk tidak turut campur dalam persoalan keluarganya. Bahkan ketika aku kembali mengetuk pintu dan memintanya untuk berhenti dari tindakan kasarnya, Pak Rasjo mulai mengeluarkan ancaman. “Kalau mau berurusan dengan Rasjo jangan sendirian. Panggil seluruh warga kampung sekalian,” ujar pria itu dengan congkak.
Mendengar jawabannya yang bikin merah telinga, aku yang pernah ikut olahraga karate dengan sabuk hitam menjadi tertantang. Pintu rumah Pak Rasjo yang memang sudah reot, tanpa banyak kesulitan dengan dua kali tendangan berhasil kujebol.

Di dalam rumah, kulihat Bu Mumun yang berpakaian setengah bugil terikat di tiang ranjang tempat tidur yang terbuat dari besi. Rupanya ia menjerit meminta tolong akibat tak tahan disiksa suaminya. Pak Rasjo ternyata menyiksa istrinya dengan cara menyundutkan bara pada rokok yang dipegangnya ke tubuh Bu Mumun.
Melihat kenekadanku menjebol pintu dan masuk ke dalam rumah, Pak Rasjo naik pitam. Ia meloncat dan meraih sebuah golok yang terselip di dinding bambu rumahnya. Bilah golok yang telah terhunus itu berkali-kali ditebaskannya ke arahku hingga membuat Bu Mumun panik dan meminta suaminya meminta menghentikan tindakan brutalnya itu.
Untung olahraga bela diri yang pernah kuikuti menjadikanku mampu bersikap sigap untuk menghindakan diri dari serangan mendadak yang kuhadapi. Bahkan di satu kesempatan, aku berhasil menyarangkan tendangan telak ke tubuh Pak Rasjo. Ia terhuyung dan kesempatan tersebut kumanfaatkan melakukan beberapa serangan berikutnya hingga akhirnya menjadi tak berdaya setelah aku berhasil mengambil alih senjatanya.
Kepada Pak Rasjo kuperingatkan, meskipun Bu Mumun istrinya ia tidak bisa berbuat seenaknya. Kalau dilaporkan ia bisa berurusan dengan pihak berwajib karena melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga yang juga merupakan tindak pidana dengan ancaman hukuman cukup berat.
Mungkin karena malu, tanpa banyak cakap Pak Rasjo akhirnya pergi meninggalkan rumah. Saat itu baru kusadari bahwa Bu Mumun juga memerlukan pertolongan. Wanita yang busananya nyaris telanjang karena hanya melilit tubuh dengan kain panjang yang telah acak-acakan, terlihat tidak beradaya. Ia telentang di bibir ranjang dengan dua tangannya terikat tali rafia pada tiang ranjang.
Dari kainnya yang tersingkap, pada paha wanita itu terlihat dua luka bakar bekas sundutan api rokok. Warnanya merah kehitaman dan tampak melepuh. Aku ingat semasa kecil kalau mengalami luka bakar oleh ibu disiram atau dibalur dengan kecap sebagai upaya pertolongan pertama. Katanya agar tidak menjadi koreng dan tidak membekas kalau sudah sembuh.
“Bu Mumun punya kecap?” ujarku pada Bu Mumun.
“A.. aa.. ada di dapur,” Bu Mumun tergagap.
Kuambil botol kecap yang isinya sudah hampir habis dari dapur dan kembali ke tempat Bu Mumun. Sedikit kecap kutumpahkan dari botol dan kubalurkan ke paha wanita itu terutama pada kedua luka bakar sundutan rokok yang nampak mulai bengkak memerah.
Mungkin karena perih akibat lukanya dilumuri kecap, kedua kaki Bu Mumun beringsut. Akibatnya, kain panjang yang melilit tubuhnya dan ikatannya kendur itu makin terbuka. Bukan hanya pahanya yang menyembul tetapi memek wanita

itu juga terlihat karena Bu Mumun ternyata tidak memakai celana dalam.
Saat itu baru kusadari bahwa Bu Mumun adalah bukan istri atau saudaraku dan tidak sepantasnya aku sampai melihat kemaluannya. Kesadaran lain yang juga timbul saat itu, ternyata wanita yang usianya sudah setengah abad itu benar-benar masih menawan. Sepasang pahanya yang membulat terlihat masih cukup mulus hanya ada beberapa belang yang nampaknya bekas sundutan api rokok yang sudah sembuh.
Namun yang membuat mataku tambah melotot dan enggan mengalihkan pandangan adalah bagian memeknya. Memek Bu Mumun yang dihiasi bulu-bulu jembut tipis terlihat besar ukurannya. Tebal,gembung dan membusung. Berbeda dengan bentuk memek istriku yang tipis dengan jembut lebat dan kasar yang terkesan kurang menarik.
Entah sudah berapa lama tatapanku terpaku pada memek wanita itu. Aku menjadi jengah dan merasa tidak enak ketika kulihat wajah Bu Mumun menjadi risih karena aku telah menatapi tubuh telanjangnya.

Ia tidak berdaya dan tidak segera menutupi tubuh bagian bawahnya yang terbuka karena tangannya terikat tali rafia yang dilakukan Pak Rasjo sebelum menyiksanya.
“Ee.. ee.. maaf Bu, saya tidak tahu tangan ibu masih terikat,” ujarku tergagap dan segera berusaha melepaskan ikatan tangan wanita itu.
Pak Rasjo benar-benar keterlaluan. Ikatan tali rafia yang dilakukan pada kedua tangan istrinya benar-benar sangat kuat. Cukup repot juga untuk membukanya. Sambil terus berusaha membuka ikatan tali rafia di tangan Bu Mumun, sesekali kesempatan itu kugunakan untuk menatapi tubuh wanita yang menurutku masih cukup merangsang itu.
Tetek Bu Mumun juga terlihat masih montok dan besar. Buah dadanya yang hanya tertutup oleh kutang hitamnya yang kekecilan tampak membusung. Berbeda dengan tetek istriku yang tipis dan terkesan peot. Tanpa kusadari kontolku jadi mengeras dibalik celana yang kupakai.

Meski tidak bisa menutupi perasaan malunya karena telah bertelanjang di hadapanku, Bu Mumun segera merapikan kain panjang yang dipakainya setelah aku berhasil melepaskan ikatan pada kedua tangannya. “Terima kasih Pak Anto. Entah bagaimana jadinya tadi kalau tidak ada Pak Anto,” ujarnya.
Dari cerita wanita itu, Pak Rasjo suaminya marah-marah dan menyiksanya karena ia meminta ijin agar diperbolehkan kembali memijat. Ia nekad menyampaikan itu karena sudah beberapa hari suaminya tidak pernah pulang membawa uang hingga untuk makan terpaksa berhutang ke sana kemari termasuk pada istriku. Menurut Bu Mumun, suaminya makin keranjingan judi dan mabuk-mabukan.
“Suami saya sangat cemburuan Pak Anto. Apalagi kalau yang dipijatnya laki-laki meskipun sudah saya katakan kalau saya hanya memijat dan tidak melakukan apa-apa. Lagian apa yang harus dicemburukan pada orang yang sudah setua saya ya Pak Anto?”
“Pak Rasjo tidak salah Bu. Soalnya tubuh Bu Mumun memang mas..,” aku menghentikan ucapanku karena merasa apa yang ingin kusampaikan tidak pantas diucapkan.
Tetapi Bu Mumun mengejar. “Soalnya apa Pak Anto? Kok tidak diteruskan,” ujarnya.
“Soalnya Bu Mumun masih cantik dan terus terang tubuh ibu masih sangat menggoda. Saya saja tadi sangat terangsang kok melihatnya,” kataku akhirnya jujur.
“Ah sudah tuwek begini kok dibilang merangsang. Ibu jadi malu lho sama Pak Anto,”
“Kok malu Bu?”
“Iya soalnya punya ibu sudah dilihat sama Pak Anto,” ujarnya.
“Kalau saya sih sangat seneng. Seperti dapat rejeki nomplok. Soalnya bisa melihat bagian yang paling indah punya ibu. Sungguh… me. eh punya ibu merangsang banget,” kataku. Tadinya aku mau bilang memek tapi aku segera meralatnya karena merasa tidak etis.
Sebelum meninggalkan rumah Bu Mumun aku sempat berpesan agar tidak sungkan-sungkan menyampaikan kesulitan yang dihadapinya terutama masalah keuangan dan berjanji akan membantunya semampu yang saya bisa bantu. Sebab aku takut gara-gara ulahku Pak Rasjo makin nekad dan tidak memberikan uang belanja. Bahkan saat itu aku sempat mengulurkan sejumlah uang
Dugaanku ternyata tidak meleset. Dua minggu setelah kejadian itu, Bu Mumun bercerita bahwa Pak Rasjo tidak pernah kembali. Menurutnya, pada malam hari setelah kejadian memang sempat pulang tetapi hanya mengemasi baju-bajunya dan langsung pergi lagi. Dicari ke tempat biasa mangkal dengan becaknya, teman-temannya sesama tukang becak memberi informasi bahwa Pak Rasjo merantau ke Sumatera karena ada yang mengajak bekerja sebagai buruh di perkebunan kelapa sawit.
Aku jadi merasa bersalah pada wanita itu. “Maafkan saya Bu. Saya tidak mengira kalau gara-gara ulah saya Pak Rasjo jadi pergi ke Sumatera,” ujarku kepada Bu Mumun yang sepertinya sengaja mencegatku saat aku hendak berangkat ke kantor setelah mengantar putriku ke sekolah.
“Oh bukan.. bukan maksud saya hendak menyalahkan Pak Anto. Dengan perginya Kang Rasjo malah membuat hidup saya dan anak-anak merasa lebih
tenang karena selama ini kami selalu ketakutan dengan tindakan-tindakan kasarnya,”
Hanya, kata Bu Mumun, dengan perginya Pak Rasjo berarti kini ia harus menghidupi sendiri kedua anaknya. Untuk itu ia berniat kembali memijat dan membuka warung kecil-kecilan kalau sudah memiliki modal. Ia meminta, bila di kantorku ada yang pengin dipijat aku diminta untuk mengajukan dirinya.
“Oh kalau soal itu, beres deh Bu. Pasti akan saya promosikan. Soalnya banyak temen-temen di kantor yang suka dipijat. Saya juga mau jadi pasien pertamanya,” kataku bergurau.
Selorohku ternyata ditanggapi serius oleh Bu Mumun. “Pak Anto pengin saya pijat? Kapan? Kalau di kantor lagi tidak banyak kerjaan sekarang juga boleh. Biar nanti kalau ke kantor udah seger,”
Sebenarnya aku tidak begitu suka dipijat. Tetapi pagi itu, penampilan Bu Mumun tampak menggoda. Daster tipis bermotif bunga-bunga yang dipakainya, tampak kekecilan. Kedua pahanya yang membulat mulus tampak menyembul karena dasternya terlalu pendek tak mampu menutupinya.
Bahkan karena kelewat tipisnya daster yang dipakai, CD warna hitam yang dikenakan wanita itu tampak menerawang. Aku jadi teringat pada kejadian saat menolongnya dari tindakan kasar suaminya. Saat aku berkesempatan melihat bagian tubuhnya yang paling pribadi dan menjadikanku sangat terangsang.
“Pijatnya di rumah saya atau di tempat ibu?”
“Di tempat saya juga boleh karena anak-anak sudah ke sekolah. Tetapi tempatnya agak kotor. Atau kalau Pak Anto mau saya bisa memijat di rumah bapak,” kata Bu Mumun.
Karena rumahku juga sepi, akhirnya kuputuskan untuk pijat di tempatku. Motor kembali kumasukkan ke dalam rumah. Sementara Bu Mumun pulang mengambil minyak urut dan peralatan lain untuk memijat. Mudah-mudahan ia tidak mengganti dasternya yang seronok agar aku bisa menikmati paha mulusnya saat dipijat, ujarku membathin.
Harapanku tampaknya terkabul, sebab saat datang dan kuminta masuk Bu Mumun tetap memakai daster tipis itu. Ia membawa botol minyak urut dan botol body lotion dari merek murahan. Tatapanku terpaku pada goyangan pantat besarnya yang aduhai saat Bu Mumun melangkah di depanku setelah aku menutup pintu. Kontolku jadi menggeliat dan terbangun.
Setelah berada di dalam kamar, seperti layaknya pemijat profesional, Bu Mumun memintaku menanggalkan pakaian yang kukenakan serta memintaku berbaring di ranjang. Tetapi sebelumnya ia memintaku memilih dipijat dengan minyak urut atau body lotion. Menurut Bu Mumun kalau agak meriang enaknya dipijat dengan minyak urut karena memberi efek hangat pada tubuh. Tetapi kalau dipijat hanya agar terasa rileks dan fresh, enaknya pakai body lotion karena hanya berfungsi sebagai pelicin saat diurut.
Tentu saja aku memilih menggunakan body lotion karena memang tidak meriang dan aku kurang suka bau minyak urut. Namun aku juga sempat ragu saat hendak menanggalkan pakaian seperti yang dimintanya. Sebab bila hanya bercelana dalam, pasti Bu Mumun akan melihat tonjolan batang penisku yang sudah mengeras. Tapi, ah kenapa harus malu? Malah lebih bagus biar gampang ngomongin hal-hal yang menjurus kalau sampai Bu Mumun menanyakannya, pikirku akhirnya dan langsung kulolosi semua pakaian yang kukenakan dengan hanya menyisakan celana dalamku.
Benar saja Bu Mumun berkali-kali melirik ke tonjolan celana dalamku yang mencetak bentuk penisku yang tegak mengeras. Hanya ia tidak berkomentar. Bahkan seolah tak acuh. Ia memintaku tidur menelentang di kasur dan memulai pijatannya setelah membalurkan body lotion ke bagian-bagian tubuhku yang hendak dipijat.
Menurutnya, ia memeriksa bagian perutku lebih dulu sebelum mulai memijat. Sebab kalau aku menderita penyakit tertentu bisa berbahaya bila dipijat. Setelah membalurkan body lotion, tangan Bu Mumun mulai beraksi. Seperti dokter yang tengah memeriksa pasiennya, lambung kiri dan kanan perutku diusap dan ditekan-tekan perlahan.
“Sakit Pak Anto?”
“Nggak tuh. Emangnya kenapa Bu?”
“Kalau terasa sakit berarti ada penyakit dan saya tidak berani memijat. Tapi Pak Anto sih kayaknya benar-benar sehat,” ujarnya sambil kembali mencuri pandang ke tonjolan yang tercetak di celana dalamku.
Kontolku memang makin mengeras hingga batangnya pasti kian tercetak jelas di balik CD yang kupakai. Ke arah itulah tatap mata Bu Mumun melirik. Tetapi hanya sesaat karena ia kembali mulai memijat. Mungkin takut dipergoki olehku.
Pijatan tangan Bu Mumun benar-benar enak. Pantas banyak yang menyukai pijatannya. Tetapi yang lebih menarik bagiku, adalah menatapi sosok tubuh pemijatnya. Terutama ke busungan buah dadanya yang montok. Mungkin karena ukurannya yang kelewat besar atau karena sudah agak kendur, susu Bu Mumun ikut berguncang-guncang lembut saat pemiliknya melakukan aktivitas memijat. Padahal, buah dadanya itu telah disangga oleh BH yang dipakainya.
Bagian lainnya yang juga menarik perhatianku sambil menikmati pijatannya adalah paha mulus wanita itu. Paha Bu Mumun memang menjadi terbuka karena dasternya yang dikenakan kelewat pendek. Bahkan sesekali celana dalam hitamnya tampak mengintip. Aku menelan ludah disuguhi pemandangan yang merangsang itu dan membuat kontolku makin tegang memacak.
Tak kuat menahan gairah, aku nekad memberanikan diri untuk merayunya. Tangan Bu Mumun yang tengah mengurut perutku kugenggam. “Kenapa Pak Anto? Sakit,” katanya.
“Ti.. tidak Bu. Di… di… di bawah ini yang sakit. Kalau dipijat sama ibu kayaknya bakal sembuh deh,” ujarku sambil menggeser tangganya ke gundukkan yang membonggol di celana dalamku.
Tadinya kukira Bu Mumun akan kembali menarik tangannya dan menghentikan pijatannya karena dilecehkan. Ternyata tidak. Seperti yang kuharapkan, ia mengelus dan meraba kontolku meski masih dari luar celana dalam. “Iihh … pagi-pagi kok sudah keras begini. Memang Bu Ning (panggilan istriku), semalam tidak memberi jatah?”
“Bukan soal tidak diberi jatah. Tapi tubuh ibu sangat sexy jadi saya menjadi terangsang,”
“Ah Pak Anto bisa saja. Saya sudah tuwek lho, kok dibilang sexy,” ujarnya mengelak namun tidak menyembunyikan perasaan bangganya atas pujianku.
Ah wanita mana sih yang tidak suka dipuji. Apalagi wanita seusia Bu Mumun dan yang memberi pujian adalah laki-laki yang usianya jauh lebih muda. Aku jadi makin berani untuk mencoba bertindak lebih jauh. Kugenggam telapak tangan Bu Mumun yang tengah memijat perutku lalu kugeser agar memasuki bagian dalam celana dalamku hingga menyentuh kontolku yang telah mengeras.
Bu Mumun ternyata juga tidak menolak dan menarik keluar tangannya. Batang rudalku digengamnya dan dikocok-kocoknya perlahan hingga membuatku merintih tertahan menahan kenikmatan. “Pak Anto pengin dikocok? Biar gampang celana dalamnya dibuka saja ya?,”
“Sshh… ahh… …sshhh aahh terserah ibu. Diapakan saja saya mau,”
Akhirnya aku benar-benar telanjang karena Bu Mumun melepas celana dalam yang kupakai. Batang kontolku yang tegak terpacak dan mengeras dibelai-belainya. Tampaknya ia mengagumi ukuran senjataku yang memang lumayan besar. “Punya saya kecil ya Bu? ujarku mencoba meminta pendapatnya.
“Ih segini kok kecil. Nggilani… ihhh gede banget,”
“Sama punya Pak Rasjo gedean mana Bu?”
“Punya Kang Rasjo sih biasa saja. Malah sudah loyo karena dia banyak minum. Bu Ning pasti seneng ya Pak Anto karena punya bapak marem banget,” kata Bu Mumun sambil mengocok perlahan batang zakarku.
Baru kusadari Bu Mumun yang semula duduk di tepian ranjang, sudah berganti posisi merebahkan tubuh di sisiku. Bagian bawah tubuhnya menghadap ke arahku. Dasternya yang terlalu pendek makin tertarik ke atas, hingga pahanya menjadi terbuka terpampang di hadapanku.
Sepasang pahanya membulat padat dan lumayan mulus untuk ukuran wanita seusia dirinya. Namun lebih mengundang gairah untuk diraba dibanding paha istriku yang kecil dan agak kasar kulitnya. Bahkan dengan hanya sedikit menyingkap ujung dasternya, aku bisa melihat busungan memeknya yang membukit. Memang masih terbungkus CD warna hitam yang dipakainya. Tetapi dapat kubayangkan besarnya memek Bu Mumun itu.
Tanpa membuang kesempatan dan karena memang sudah lama ingin merabanya, tangaku langsung mengusap-usap paha Bu Mumun. Kulitnya benar-benar lembut. Sayang Pak Rasjo suka mengasarinya saat bertengkar dengan menyundutkan rokok ke pahanya hingga ada beberapa bekas luka di paha mulusnya yang tak bisa hilang.
Diraba dan diremas-remas gemas pada pahanya, awalnya Bu Mumun tidak bereaksi. Hingga aku bisa menjelajahi setiap inchi kehalusan kulitnya dan mengagumi keindahan kakinya yang kekar itu. Namun saat telapak tanganku mulai menyentuh dan mengusap busungan memeknya, ia menggelinjang dan berusaha mencegah.
“Pak… ja…,” ujarnya tanpa menyelesaikan kalimatnya sambil berusaha menurunkan ujung dasternya yang tersingkap.
“Saya ingin melihat dan memegang punya ibu. Tidak boleh?” Kataku.
“Bukan begitu Pak. Saya malu,”
“Kok malu?”
“Saya sudah tua dan jelek,” ujar Bu Mumun lirih.
“Sejak kejadian dengan Pak Rasjo dan melihat tubuh telanjang ibu, saya benar-benar terangsang dan suka pada ibu. Saya suka membayangkan dan mengangankan ibu,” kataku meyakinkannya.
Entah karena percaya dengan penjelasanku atau karena ia sendiri menjadi terangsang karena melihat kerasnya batang kontolku, Bu Mumun tak lagi memprotes ketika aku kembali mengusap-usap busungan memeknya. Bahkan ia merenggangkan sedemikian rupa posisi pahanya hingga memudahkanku untuk melihat seluruh permukaan memeknya dari luar CD yang dipakai dan sekaligus merabainya.
Rupanya soal usia hanya sekadar alasan. Sebab ternyata CD warna hitam berharga murahan yang dipakai Bu Mumun, bentuknya sudah mengenaskan. Warnanya kusam, kendor dan berlubang di jahitannya yang terlepas. Kasihan, mungkin ia tak cukup punya uang untuk sekadar membeli CD karena penghasilan suaminya yang pas-pasan ditambah suka judi dan mabuk. Mungkin karena bentuk CD nya yang sudah tidak layak pakai itulah ia jadi malu dan sempat berusaha menolak ketika kuraba memeknya.
Bagiku CD kendor yang dipakainya membuatku makin terangsang. Sebab membuat rambut-rambut hitam jembut memeknya mencuat keluar dari bagian yang berlubang. Sambil menikmati kocokan yang dilakukan Bu Mumun pada penisku, cukup lama kuusap-usap memeknya yang membusung. Bahkan sesekali, masih dari luar CD yang dipakainya, kumasukkan jariku untuk masuk ke lubang nikmatnya melalui lubang pada CD yang dipakainya.
Bu Mumun rupanya juga mulai terangsang. Aku tahu karena CD nya mulai basah akibat cairan yang keluar dari vaginanya. Nampaknya wanita yang usianya sudah memasuki kepala lima itu belum kehilangan gairahnya. Karena sudah sangat ingin melihat bentuk lubang nikmatnya, kucoba melepaskan CD yang dipakainya.
Tetapi melepaskan CD nya dalam posisi tiduran ternyata tidak mudah. Mungkin takut CD yang dipakainya robek karena sudah usang, Bu Mumun langsung berdiri dan membantu membukai sendiri CD yang dipakai. “Saya malu Pak Anto. Celana dalam saya jelek dan sudah robek,” ujarnya sambil tersenyum.
Aku tersenyum. “Tetapi yang penting kan isinya Bu. Sungguh saya suka banget tubuh ibu yang merangsang. Ayolah buka semua, saya ingin melihatnya lagi,” kataku meyakinkannya.

Memek wanita bertubuh tinggi besar itu benar-benar wah. Besar dan membusung dengan bulu-bulu jembut tipis menghiasi permukannya. Terlihat sangat merangsang terjepit di antara pangkal pahanya yang membulat kekar. Saat ia melepas BH, satu-satunya penutup tubuh yang masih tersisa, aku makin tak tahan oleh gairan yang kian membakar.
Sebab meskipun sudah agak kendur, ukuran payudaranya tergolong maxi. Besar menggantung mirip buah pepaya ranum dengan hiasan warna coklat kehitaman pada putingnya yang terlihat mencuat. Tanpa membuang kesempatan dan juga karena sudah sangat ingin menikmati tubuh montoknya aku langsung menariknya dan menelentangkannya di ranjangku. Ranjang yang biasa kupakai tidur bersama istriku.
Tanpa melakukan pemanasan lebih dulu, tubuh Bu Mumun yang mengangkang langsung kutindih. Langsung berusaha memasukkan kontoku ke lubang memeknya. Namun karena tergesa-gesa, berkali-kali tidak berhasil menembus lubang nikmatnya. Untung Bu Mumun segera membantunya. Dengan tangannya, ia mengarahkan rudalku ke liang memeknya. Hingga akhirnya, bless… batang kontolku melesak ke kehangatan lubang kemaluannya.
“Ma.. maaf Bu saya sudah pengen banget merasakan memek ibu,” kataku berbisik dekat telinganya.
Ia tersenyum. “Nggak apa-apa Pak Anto,” ujarnya.
Ternyata Bu Mumun juga sudah horny. Bagian dalam liang senggamanya sudah basah. Juga sudah longgar, mungkin karena sering disetubuhi Pak Rasjo atau karena sudah ada tiga bayi yang penah melewatinya. Namun, meskipun liang senggamanya sudah longgar tetap tidak mengurangi rasa nikmat.
Benar juga yang disampaikan para pakar seks dalam sebuah majalah yang pernah kubaca. Bahwa besar pendeknya penis atau sempit lebarnya memek tidak terlalu memberi pengaruh terhadap kenikmatan seks. Bahkan bagiku, banyaknya cairan yang melumuri batang kontolku di memek Bu Mumun serasa memberi sensasi tersendiri. Hangat dan serasa berenang di surga kenikmatan.
Sambil meremasi tetek besarnya dan memilin gemas puting-putingnya, kuayun perlahan bagian bawah tubuhku. Bu Mumun mendesah. Rupanya ia mulai merasakan nikmatannya tusukan batang kontolku di lubang memeknya. “Sshh… aaahh… sshh… aakkhh … enak bangat Pak Anto,”
“Iya Bu… saya juga enak. Memek tembem ibu enak banget. Akkhhh…. ahh… ssshhh …. sa.. saya suka memek ibu,”
“Bener Pak Anto? Aaahhhh… sshhh… aaahhhh. … aauww… kontol bapak juga marem banget. Besar dan panjang,”
Dari tempo permainan yang semula perlahan, seiring dengan kenikmatan dan gairah yang kian meninggi aku mulai meningkatkan irama. Sodokan dan tusukan batang zakarku meningkat cepat temponya. Membuat tubuh Bu Mumun menggelinjang dan mulai mengimbangi dengan menggoyang-goyangkan pinggul dan pantat besarnya. Ia menjambak dan meremas gemas kepalaku yang juga tiada henti menghisapi puting susunya.
Bahkan tidak sekadar mendesah, sesekali Bu Mumun memekik dan mengeluarkan kata-kata jorok. “Ssshhh.,,, aaakhhhh…. sshhh… enak bangat .. aahhh … aaauuuuwww … terus entot memek saya Pak Anto.. aaahhhh, … enak banget… sshhh…. aakkkhhh,”
Wajah wanita paro baya yang mulutnya tak berhenti mendesah dan mendesis itu makin cantik di mataku. Kata-kata jorok dan desahannya bahkan seolah menyemangatiku untuk lebih memacu hunjaman kontolku di lubang memeknya. “Ssshhhh aahhh ,,,, ahhh, saya juga suka memek ibu. Memek ibu legit banget…. aahhh … saya akan jebolkan memek ibu… sshhhh … sshh,”
Karena sama-sama bernafsu dan tak mampu mengontrol tempo permainan, tak lebih dari sepuluh menit kami telah sama-sama mendekati puncak. Goyangan pantat Bu Mumun semakin kencang. Ia berkali-kali mengangkat pinggulnya dan desahan yang keluar dari mulutnya makin menjadi.
Saat itu, sesuatu yang tidak pernah kurasakan kudapatkan dari Bu Mumun. Tidak hanya mengedut-edut, otot-otot yang berada di sekitar lubang memeknya juga seolah mampu bergerak. Meremas dan menghisap batang kontolku hingga mengantarkanku kepada kenikmatan yang tidak pernah kurasakan. Aahh ternyata ada memek wanita yang seenak ini, pikirku membatin.
Saat kedua kaki Bu Mumun melingkar dan membelit pinggangku. Menekan pantatku dan menghunjamkan batang kontolku ke kedalaman memeknya sampai ke dasarnya. Aku tahu ia telah hampir sampai dan mendapatkan orgasmenya.
Tanpa membuang kesempatan, karena aku pun sudah tidak mampu membendung gairah yang telah cukup lama kutahan, aku pun mulai mengimbanginya. Berkali-kali kugenjot dan kusentakkan sekeras-kerasnya batang kontolku di lubang nikmatnya. Akibatnya Bu Mumun mengerang-erang dan mendekap erat tubuhku.

Puncaknya Bu Mumun mengelojot dan ambruk terkapar setelah sebelumnya kurasakan semburan hangat memancar di dalam vaginanya. Dalam tempo yang hampir bersamaan, aku pun mendapatkan puncak kenikmatan dari persetubuhan yang kulakukan bersamanya. Setelah menyemprotkan cukup banyak air mani ke rahimnya, tubuhku ambruk di atas tubuh montok wanita tetanggaku.
Rupanya cukup lama aku tertidur setelah meniku tertumpah. Bu Mumun juga sudah tidak ada di ranjangku hingga aku keluar mencarinya. Di dapur kutemui wanita tengah menjerang air. Nampaknya dia habis mandi dan hanya melilit tubuhnya dengan handuk. “Eeh Pak Anto maaf saya pakai handuk ini. Bapak mau minum teh apa kopi, airnya hampir mendidih,” ujarnya.

Aku tidak menjawab tapi langsung mendekap dan memeluknya dari belakang. Bau wangi sabun mandi meruap dari tubuhnya. Susunya kuremas dan tanganku yang lain menyelinap ke pahanya, merambat dan mengusap-usap memeknya yang masih basah. “Saya hanya pengin memek ibu yang nikmat ini,’ ujarku sambil menekan-nekan memek tembemnya.
“Ih Pak Anto doyanan ya,” kata Bu Mumun tanpa mencoba menepis tangan nakalku.
“Soalnya memek ibu enak banget. Saya suka memek ibu,”
“Kan sudah ada Bu Ning,”
“Punya istri saya tipis dan bulu jembutnya kasar jadi tidak merangsang. Teteknya juga kecil. Tidak seperti punya ibu, mantep,” kataku lagi sambil meremas dan merabai pantatnya yang membusung.
“Punya Pak Anto juga marem lho. Sampai mentok. Saya tadi keluar banyak Pak,”
Bu Mumun agaknya terpancing oleh tangan nakalku. Ia hendak meraih kontolku yang mulai agak menegang. Namun karena merasa masih kotor dan lengket oleh keringat, kulepaskan pelukanku dan melangkah ke kamar mandi. “Saya mandi dulu ya Bu. Nanti kita lanjutkan. Oh ya saya minta dibuatkan teh manis saja,” ujarku sebelum masuk ke kamar mandi.
Usai mandi, teh panas buatan Bu Mumun yang terhidang kureguk. Wanita itu kulihat duduk di sofa, di ruang tengah tempat keluargaku menonton televisi. Seperti semula, ia hanya membalut tubuhnya dengan handuk warna krem yang sebenarnya milik istriku. Aku menghampiri dan duduk menjejerinya.Ia melirik ke arahku yang tetap telanjang bulat dan menatap ke selangkanganku. Melihat kontolku yang mengecil akibat kedinginan saat mandi.
Dengan menggelung rambutnya, wanita sederhana itu terlihat cukup cantik. Kulitnya benar-benar bersih dan tampak anggun. Di wajahnya, ketuaan hanya terlihat pada beberapa kerutan yang ada di kelopak matanya. Kalau ekonominya menunjang, aku yakin ia pantas menjadi istri pejabat. Bahkan Bu Marmo. istri atasanku yang sudah berusia 53 tahun tapi masih suka dandan kalah penampilan.
Kulingkarkan tanganku ke pundak Bu Mumun yang terbuka lalu kucium pipinya. Ada bau sabun mandi yang biasa dipakai istriku. “Pak Anto nggak malu?”
“Kok ibu nanya begitu,”
“Saya kan sudah tua dan cuma istri seorang tukang becak. Malah sebelumnya saya cuma babu,” ujarnya. Agaknya dia masih tidak percaya diri.
“Ibu nggak percaya ya. Ibu benar-benar sangat cantik dan saya sangat suka. Tubuh indah dan membuat saya sangat terangsang,” kataku.
Untuk lebih meyakinkan, aku mendaratkan ciuman di bibirnya. Kulumat dan kujulurkan lidahku ke rongga mulutnya. Mulanya tidak bereaksi. Baru setelah lidahnya berkali-kali kugelitik menggunakan lidahku dan menghisapnya, ia mulai memberikan perlawanan. Ia merapatkan tubuhnya dan memelukukku. Ia juga mulai melumat dan menghisap bibirku. Kami saling hisap dan saling lumat dan baru berhenti setelah sama-sama sulit bernafas.
Bu Mumun menjadi lebih santai setelah sempat saling lumat bibir. Mungkin ia menjadi makin percaya kalau aku benar-benar menyukainya. Buktinya, saat kuminta melepas handuk yang masih membalut tubuhnya karena aku ingin melihat seluruh tubuhnya, tanpa sungkan ia segera melepasnya. Bahkan ia langsung menyandar di sofa dan membuka kakinya. Memamerkan semua miliknya layaknya istri setia yang hendak melayani suaminya.
Kini aku bisa benar-benar puas melihat semua perangkat kewanitaan Bu Mumun. Seperti kebanyakan wanita seusia dirinya, perut wanita tetanggaku itu sudah tidak rata. Bahkan ada lipatan-lipatan daging yang bagi sementara pria dianggap mengganggu dan kurang menarik. Sepasang buah dadanya yang besar mirip buah pepaya, juga tampak kendur. Namun puting-puting susunya yang nyaris sebesar ujung kelingking jariku benar-benar menggodaku. Warnaya coklat kehitaman dan bentuknya mencuat, kontras dengan bagian tubuh lainnya yang langsat.
Kalau kubilang memek istriku kurang menarik, karena begitulah memang adanya. Memek istriku kecil dan tipis, dengan rambut-rambut keriting yang kasar mendekati lubangnya. Karenanya aku hanya beberapa kali mengoral dan menjilatnya sepanjang 8 tahun perkawinanku. Itu pun di saat masih pengantin baru.
Namun melihat memek Bu Mumun, sungguh jauh berbeda. Memek yang lebar dan besar itu, busungannya sudah terbangun sejak di bawah pusar dan makin ke bawah makin menggunung dan tebal. Rambut-rambut yang tumbuh di atasnya juga sangat halus. Terdorong keinginan untuk melihat lebih dekat bentuk vaginanya, aku turun dari sofa dan jongkok persis di antara kedua paha mulusnya yang mengangkang.
Saat kuraba, memek Bu Mumun benar-benar tebal. Pantas enak banget saat kuentot. Bulu-bulu jembutnya juga lembut, beda benar dengan jembut istriku yang kasar. Hanya, celah di lubang vaginanya tidak semulus gundukkannya. Bibir luar memeknya yang juga tebal, nyaris sudah tidak berbentuk. Agak kehitaman dan banyak sekali kerutan. Membuatku penasaran untuk merabanya.
Mungkin karena Pak Rasjo suka main kasar kalau sedang menyetubuhi. Atau bisa jadi begitulah memek wanita kalau usianya sudah kepala lima dan sering disodok penis pria. Bu Mumun berusaha menepis dan menarik tanganku saat telapak tanganku berkali-kali mengusap bibir memeknya yang sudah kapalan itu. “Malu ah Pak Anto, punya ibu sudah jelek. Makanya, ibu kan sudah tua,” ujarnya.
Bu Mumun salah duga. Padahal, entah kenapa, melihat memeknya yang sudah kapalan, aku makin terangsang. Tonggak daging di selangkanganku jadi menggeliat dan mulai bangkit. Apalagi melihat itilnya yang mecuat diujung bagian atas belahan memeknya. Ah benar-benar menggoda untuk dijilat.
Tak puas hanya sekedar mengusap, aku mulai menggunakan mulutku. Memek Bu Mumun benar-benar tidak berbau. Kujilat dan kusapu-sapukan lidahku pada kerut-kerut di bibir memeknya. Juga di itilnya yang kemerahan. Bahkan, akhirnya seluruh mulutku kubenamkan ke lubang vaginanya sambil kuhisap-hisap itilnya.
Bu Mumun tersentak. Mungkin ia tidak mengira aku akan mengoralnya. Kepalaku dipegangnya dan ditariknya agar menjauhi memeknya. “Ja… jangan Pak Anto. Kotor.. ah.. ja.. jangan,”
Tetapi aku tidak peduli. Bahkan, sambil menjulur-julurkan lidahku ke lubang nikmatnya, tanganku menggerayang ke perutnya dan berhenti di payudaranya. Susunya yang bak buah pepaya menggelantung itu, tak luput dari remasan tanganku. Aku seperti bocah yang tengah asyik dengan mainan baru dan sulit diminta berhenti.
Rupanya, Bu Mumun akhirnya mendapatkan kenikmatan dari yang kulakukan. Akhirnya ia pun menyerah. Membiarkan segala yang ingin kulakukan pada tubuhnya. Bahkan ia makin mengangkang, membuka lebar pahanya agar lidahku bisa menjangkau sudut terdalam lubang nikmatnya. Ia juga mulai merintih dan mendesah.
Jilatan dan sogokan lidahku pada kelentit dan lubang memeknya, membuat tubuh Bu Mumun menggelinjang. Cairan vaginanya juga mulai keluar, terasa asin di mulut dan lidahku. Aku tak peduli. Bahkan makin bersemangat karena membuat wanita istri tetanggaku itu terangsang berat. “SShhhh… aahhh…. sshhh ….. aahhh… ooohhh…. oooohhhh…. ssshhh … enak banget …. aaahhh. Saya diapakan Paakkk…. aahhh enak banget..,” erangnya.
Erangan kenikmatan Bu Mumun cukup keras. Sebenarnya takut juga kalau ada tetangga yang mendengar dan mengintip. Namun rumahku dan rumah Bu Mumun lumayan terpencil, terpisah agak jauh dari rumah warga lainnya. Jadi tidak bakalan ada yang mendengar dan menjadi curiga.
“Sekarang ibu berdiri dan nungging ya. Saya pengin lihat pantat ibu. Juga memek ibu dari belakang,” kataku setelah puas mengobok-obok memeknya dengan mulutku dan menjadian lubang kewanitannya dibanjiri cairan yang bercampur ludahku.
“Pak Anto ada-ada saja ih. Wong bokong wanita tuwek saja mau dilihat,” katanya merajuk.
Tetapi ucapannya itu bukan untuk membantah. Seperti yang kuminta ia langsung nungging di depanku. Kedua tangannya bertumpu pada kursi sofa. Melihat sosoknya dari belakang, aku jadi berpikir bahwa Pak Rasjo suaminya benar-benar pria tak tahu diuntung. Profesinya yang hanya sebagai penarik becak menyia-nyiakan istrinya yang masih merangsang di usianya yang sudah tidak muda.
Ditopang dua kakinya yang kekar dan panjang, bentuk pantat Bu Mumun benar-benar serasi. Besar, lebar dan membusung. Lubang duburnya berwarna coklat kehitaman tetapi terlihat bersih. Kukira saat mandi tadi ia tak lupa menyabuni sampai pada anusnya itu. Dan kuyakin dari bentuk lubangnya yang masih sangat rapat, ia belum pernah melakukan hubungan seks melalui duburnya.
Setelah mengusap dan meremasi pantatnya yang menggemaskan, kembali memeknya kucerucupi dan kujilati. Bahkan sesekali tanganku meraih susunya yang berayun-ayun untuk meremas-remasnya. Tindakanku membuat Bu Mumun kembali merintih dan mengerang.
Hanya, ketika jilatan lidahku merambat makin ke atas mendekati lubang duburnya, ia menjadi tersentak dan berdiri. “Jangan ah Pak Anto. Bapak nggak jijik?,” ujarnya memekik.
Tetapi aku tak peduli. Ia kembali kupaksa untuk nungging seperti semula. Hingga tanpa bisa menolak, ia kembali menyodorkan pantatnya ke wajahku dan kembali aku menjilatinya. Kali ini di lubang duburnya. Ujung lidangku kusapukan di sekitar lubang anusnya.
Reaksinya benar-benar dahsyat. Bu Mumun mengerang dan merintih perlahan. Mungkin ia merasakan perpaduan antara nikmat dan risi karena bagian tubuh yang oleh banyak orang dianggap kotor malah dijilati olehku. Aku juga makin yakin Bu Mumun belum pernah mendapat jilatan di bagian anusnya itu.
Sebenarnya aku belum pernah melakukan itu terhadap istriku maupun perempuan lain yang pernah tidur denganku. Tetapi dengan Bu Mumun, sepertinya aku ingin melakukan semuanya. Semua yang pernah kulihat dalam adegan film-film mesum. Entahlah, di mataku Bu Mumun memiliki pesona tersendiri.
Di samping erangannya yang kian keras takut didengar orang akibat kenikmatan jilatan yang kuberikan pada duburnya, aku juga kasihan ia menjadi terpanggang oleh nafsunya yang segera membutuhkan penuntasan. Maka sambil memeluknya dari belakang, kuarahkan kontolku d lubang memeknya. Dengan sentakan lumayan bertenaga, bleess kontolku langsung amblas. Masuk ke kehangatan liang vaginanya yang yang basah.
“Enak Bu,” kataku lirih berbisik di telinganya.
“Iya Pak Anto. Enak dan marem banget,”

Sambil mengayun keluar masuk kontolku di liang senggamanya, kucium punggung Bu Mumun yang terbuka. Merambat ke atas ke tengkuknya. Di tengkuknya, di anak-anak rambutnya karena rambut Bu Mumun disanggul, lidahku kembali menjalar terus menggelitik telinganya.
Bu Mumun kembali menggelinjang. Wanita yang sudah dikaruniai dua orang cucu itu juga mengerang-erang. Nampaknya menahan kenikmatan dari yang kuberikan. Suara rintihan dan erangannya membuatku makin bernafsu untuk menyetubuhinya. Maka sambil meremasi susu-susunya, sodokan sodokan kontolku pada memeknya makin kupercepat. Bunyi bleep… bleep…. bleep yang timbul dari benturan pantat besarnya dengan bagian depan pinggangku saat aku menghujamkan zakarku, juga makin membangkitkan gairahku.
Namun baru saja aku hendak mempercepat sogokan kontolku, otot bagian dalam memek Bu Mumun berkontraksi. Berdenyut, menjepit dan meremas. Rupanya ia akan kembali mendapat orgasmenya. Maka sogokan batang kontolku di liang senggamanya kuubah menjadi sentakan-sentakan bertenaga. Pada tiap sentakan yang kulakukan kudengar ia melolong dan merintih panjang. Dan akhirnya semburan hangat kurasakan menyembur ke sekujur batang penisku setelah sebelumnya kulihat Bu Mumun mencengkeram sofa tempat kedua tangannya bertumpu.
“Sa.. saya dapat Pak Anto. Sshhh… ssshhhh…. aahh … aahhh… enak banget… ssshhh…. aaahhh… aakkkhhhhh,” ujarnya dengan nafas memburu.
Permainan kembali dilanjutkan setelah beristirahat sejenak dan sama-sama membersihkan diri di kamar mandi. “Pak Anto nggak apa-apa terlambat ke kantor,” ujarnya setelah kembali sama-sama duduk di kursi sofa.
“Ah beres Bu.Hari ini nggak ada yang terlalu penting untuk dikerjakan di kantor,”
“Kalau begitu saya juga ingin membuat Pak Anto puas,” ujarnya sambil turun dari sofa dan mengambil posisi berjongkok di hadapanku.
Sebagai istri Pak Rasjo, kurasa ia tidak banyak memiliki pengalaman melakukan hubungan seks yang aneh-aneh. Tetapi sebagai wanita yang telah matang dari segi usia, ternyata telah matang pula dalam urusan ranjang. Setelah diciumi sepenuh nikmat, Bu Mumun mengcok kontolku perlahan dengan gerakan seperti tengah mengurut. Hasilnya, rudalku yang sebelumnya agak layu karena kedinginan di kamar mandi kembali tegak mengacung.
Saat itulah, sambil mengelus-elus dan mempermainkan kedua bijinya, Bu Mumun mulai mengulum penisku. Kuluman dan hisapannya benar-benar mantap. Batang kontolku yang lumayan panjang seperti ditelannya sampai ke pangkalnya, lalu dihisap dan ditariknya dengan mulutnya. “Aaakkkkhhhh…. sshhh…. aaakkkhhhh… eennnakk banget,” aku mendesah.
Saat kontolku berada di rongga mulutnya, lidah Bu Mumun juga sepertinya tak mau diam. Kepala penisku diusap-usapnya dengan lidahnya hingga memberi sensasi kenikmatan tersendiri. Bu Mumun dengan tubuh montoknya yang telanjang, terlihat bersungguh-sungguh ingin memberikan kenikmatan padaku. Matanya terpejam dan ekspresinya sangat menggoda hingga aku berkali-kali mendesis menahan gairah yang kian membuncah.
Selain memberikan layanan oral pada penisku dengan sentuhan yang memabukkan, lidah Bu Mumun juga lincah merayap. Melata ke berbagai penjuru. Ke selangkanganku, perutku dan juga pusarku. Bahkan ke dadaku dan menghisap puting susuku. Saat ia melakukan itu, aku dengan gemas meremas-remas teteknya dan meraba memeknya yang juga kembali basah. “Ah.. ahhh… sshhhh enak banget Bu. Saya suka banget ngentot dengan ibu,”
“Bener Pak Anto?” ujarnya berbisik di telingaku.
“Ii.. iiya Bu. Aahhh … saya baru merasakan enaknya ngentot seperti ini,”
Aku sangat kaget ketika Bu Mumun memaksa agar aku menarik ke atas dan menekuk kedua kakiku. Ternyata ia memintaku melakukan itu karena hendak mengerjai lubang duburku. Dimulai dengan mencerucupi lubang anusku, lalu lidahnya yang lincah menyapu-nyapu di seputar anusku. Aku jadi terlonjak dan tubuhku menjadi merinding dibuai sensasi kenikmatan yang diberikan.
Untung aku telah membersihkan anusku dengan sabun saat mandi dan membersihkan badan. Hingga kuyakin tak ada lagi bau tak sedap di lubang duburku. Hanya, aku tak mampu menahannya lebih lama atas permainan balasannya itu. Akhirnya aku menarik tubuh Bu Mumun naik ke atas sofa dan memintanya untuk mengerjai kontolku dengan memeknya sambil berjongkok.
Blees… kontolko kembali melesak ke kehangatan lubang vaginanya saat pantat besar Bu Mumun diturunkan persis di selangkanganku. Lubang memeknya yang lebar tampak memerah dihiasi oleh kerut-kerut bibir kemaluannya.
Untuk urusan main di atas, Bu Mumun bahkan tak kalah handal. itu kubuktikan saat ia mulai melakukan goyangan. Pantatnya yang sedikit diangkat, digoyang-goyangkan dengan hebatnya dan dengan kontolku masih berada di jepitan lubang nikmatnya. Aku menjadi tersentak. Tak tahan oleh kenikmatan goyangan yang diberikan, dua tangaku mencengkeram gemas buah dadanya.
“Aauuww.. sshhh.. aahhhh … shhh… aahhh… enak.. enak .. banget memek ibu. Ya.. ya.. sshhh …sshhh enak anget. Memek ibuu eennnakkk banget,” kali aku yang tidak bisa mengontrol suaraku akibat sensasi dan kenikmatan yang disuguhkan wanita istri tetanggaku itu.
Sebetulnya, pertahanku nyaris jebol oleh goyangannya yang tak kalah dengan goyang ngebor Inul Daratista itu. Namun karena ingin menikmati sensasi kenikmatan yang diberikan olehnya, dengan kemampuan olah nafasku aku mencobanya bertahan. Bahkan akhirnya Bu Mumun yang menjadi kelabakan terpanggang oleh nafsu dan gairahnya sendiri.

Puncaknya, karena kuyakin Bu Mumun juga sudah dekat dengan orgasmenya, sambil memeluk tubuh montoknya aku berdiri sambil menggendongnya. Aku juga heran tubuh tinggi besarnya serasa ringan dalam gendonganku. Lalu perlahan kurebahkan di lantai berkarpet di ruang keluargaku. Saat itulah kami menuntaskan hasrat yang sama-sama menggelegak.
Tubuh Bu Mumun yang telentang mengangkang kembali kugenjot. Memeknya kusogok-sogok dengan batang kontolku yang tengah dalam posisi mengembang sempurna. Bahkan tak puas hanya dengan memasukkan kontol ke lubang nikmatnya, jari-jari tanganku ikut bermain disana. Menjentik-jentik dan mengusap itilnya.
Akhirnya kami sama-sama merintih dan setelah mengerang panjang, kontolku menyemprotkan mani cukup banyak membanjir di rahimnya. Bercampur dengan cairan hangat yang juga muncrat entah dari bagian mana di lubang nikmat wanita itu. Tubuhku ambruk dan hampir kehabisan nafas di atas tubuh montok Bu Mumun yang terangah-engah.
Seperti pasangan suami istri yang kelaparan sehabis bersetubuh, aku dan Bu Mumun makan di ruang dapur rumahku setelah sama-sama membersihkan diri. Telor ceplok, tahu goreng dan sambal yang dibuavnya memang menggugah selera. Saat itulah Bu Mumun mengingatkanku kalau-kalau ada teman di kantorku yang ingin dipijat. Menurutnya, saat ini ia hanya mengandalkan dari pekerjaan itu.
“Beres Bu. Tapi….,” ujarku.
“Tapi apa Pak Anto?”
“Tapi ibu tidak memberikan layanan yang seperti tadi ke orang lain kan?” kataku cemburu.
“Ih.. ya tidaklah. Lagian yang doyan sama wanita tuwek seperti saya kan cuma Pak Anto,” ujarnya.
“Eh.. jangan salah. Tubuh ibu masih sangat merangsang lho. Bener kan ibu cuma memijat,”
“Pak Anto jadi seperti Kang Rasjo tuh. Percayalah Pak, saya akan nurut sama Pak Anto. Apalagi kalau…” ujarnya tanpa meneruskan kata-katanya.
“Kalau apa bu?”
“Kalau sesekali Pak Anto masih mau melakukan yang seperti tadi dengan saya,” katanya lirih.
“Tentu bu tentu. Saya suka dan puas banget sama ibu,”
Selain akan membantunya berpromosi soal pijatannya kepada teman sekantor, aku juga berjanji akan membantunya dengan sejumlah uang setiap bulan bila Pak Rasjo sampai tidak kembali datang. Bahkan sebelum kembali ke kantor, aku dan dia sempat saling peluk dan raba hingga nyaris kembali telanjang dan terpancing untuk mengulang kembali persetubuhan.
Untung Bu Mumun mengingatkan bahwa aku harus menjemput Ratri, putriku dari sekolah hingga kubatalkan niatku untuk kembali menikmati kehangatan tubuhnya. Sejak itu kami terus mengulang dan mengulang persetubuhan nikmat bersamanya. Bu Mumun, benar-benar menjadi istri gelapku.



No comments

Powered by Blogger.