Ayah Mertua yang Begitu Kerasss dan Dahsyat
Berdiri di depan pintu rumahku, menantu permpuanku, Mirna, mendekatkan kepalanya ke arahku dan berbisik,
“Kalau Ayah mau… aku nggak menolak.” Dia memberiku sebuah kecupan ringan di pipi, dan berbalik lalu
berjalan menyusul suami dan anaknya yang sudah lebih dulu menuju ke mobil. Yoyok menempatkan bayinya
pada dudukan bayi itu, dan seperti biasanya, dia terlalu jauh untuk mendengar apa yang dibisikkan
istrinya tercintanya terhadap Ayah kandungnya.
Mirna melenggang di jalan kecil depan rumah dengan riangnya bagai seorang gadis remaja yang menggoda.
Yoyok tak mengetahui ini juga, ini semua dilakukan istrinya hanya untukku…
Mungkin kalian semua mengira aku terlalu mengada-ada soal ini, tapi kenyataannya apa yang Mirna lakukan
ini tidak hanya sekali ini saja. Dan sejak aku tak terlalu terkejut lagi, aku merasa ada sesuatu yang
hilang jika dia tidak melakukannya saat berkunjung ke rumahku.Aku merasa ada getaran pada penisku, dan
sebagai seorang laki-lakii biasa yang masih normal, pikiran ‘andaikan… yang wajar menurutku selalu hadir
di benakku.
Mirna adalah seorang wanita yang bertubuh mungil, tapi meskipun begitu ukuran tubuhnya tersebut tak
mampu menutupi daya tarik seksualnya. Sosoknya terlihat tepat dalam ukurannya sendiri. Dia mempunyai
rambut hitam pekat yang dipotong sebahu, dia sering mengikatnya dengan bandana. Dia memiliki energi dan
keuletan yang sepengetahuanku tak dimiliki orang lain. Sebuah keindahan nan elok kalau ingin
mendiskripsikannya. Dia selalu sibuk, selalu terlihat seakan dikejar waktu tapi tetap selalu terlihat
manis. Dia masuk dalam kehidupan keluarga kami sejak dua tahun lalu, tapi dengan cepat sudah terlihat
sebagai anggota keluarga kami sekian lamanya.
Yoyok bertemu dengan mirna saat masih kuliah di tahun pertama. Mirna baru saja lulus SMU, mendaftar di
kampus yang sama dan ikut kegiatan orientasi mahasiswa baru. Kebetulan Yoyok yang bertugas sebagai
pengawas dalam kelompoknya Mirna. Seperti yang sering mereka bilang, cinta pada pandangan pertama.
Mereka menikah di usia yang terbilang sangat muda, Yoyok 23 tahun dan Mirna 19 tahun. Setahun kemudian
bayi pertama mereka lahir. Aku ingat waktu itu kebahagian terasa sangat menyelimuti keluarga kami.
Suasana saat itu semakin membuat kami dekat. Mirna mempunyai selera humor yang sangat bagus, selalu
tersenyum riang, dan juga menyukai bola. Dia sering terlihat bercanda dengan Yoyok, mereka benar-benar
pasangan serasi. Dia selalu memberi semangat pada Yoyok yang memang memerlukan hal itu.
Yoyok dan Mirna sering berkunjung kemari, membawa serta bayi meraka. Mereka telah mengontrak rumah
sendiri, meskipun tak terlalu besar. Aku pikir mereka merasa kalau aku membutuhkan seorang teman, karena
aku seorang lelaki tua yang akan merasa kesepian jika mereka tak sering berkunjung. Disamping itu, aku
memang sendirian di rumah tuaku yang besar, dan aku yakin mereka suka bila berada disini, dibandingkan
rumah kontrakannya yang sempit.
Ibunya Yoyok telah meninggal karena kanker sebelum Mirna masuk dalam kehidupan kami. Sebenarnya, tanpa
mereka, aku benar-benar akan jadi orang tua yang kesepian. Aku masih sangat merindukan isteriku, dan
bila aku terlalu meratapi itu, aku pikir, kesepian itu akan memakanku. Tapi pekerjaanku di perkebunan
serta kunjungan mereka, telah menyibukkanku. Terlalu sibuk untuk sekedar patah hati, dan terlalu sibuk
untuk mencari wanita untuk mengisi sisa hidupku lagi. Aku tak terlalu memusingkan kerinduanku pada sosok
wanita. Tak terlalu.
Bayi mereka lahir, dan menjadi penerus keturunan keluarga kami. Kami sangat menyayanginya. Dan kehidupan
terus berjalan, Yoyok melanjutkan pendidikannya untuk gelar MBA, dan Mirna bekerja sebagai Teller di
sebuah Bank swasta.
Kunjungan mereka padaku tak berubah sedikitpun, cuma bedanya sekarang mereka sering membawa beberapa
bingkisan juga. Tentu saja, diasamping itu juga perlengkapan bayi, beberapa popok, mainan dan makanan
bayi.
Beberapa bulan lalu Mirna dan bayi mereka datang saat Yoyok masih di kelasnya. Dia duduk disana
menggendong bayinya di lengannya. Dia sedang berusaha untuk menidurkan bayinya. Aku tak tahu caranya,
tapi pemandangan itu entah bagaimana telah menggelitik kehidupan seksualku.
“Ngomong-omong… kapan Ayah akan segera menikah lagi?” dia bertanya dengan getaran pada suaranya.
“Aku tak tahu. Aku kelihatannya belum terlalu membutuhkan kehadiran seorang wanita
dalam hidupku.
Lagipula, aku telah memiliki kalian yang menemaniku.”
“Aku tidak bicara tentang teman. Aku sedang bicara soal seks.” matanya mengedip kearahku saat dia
bicara.
“Apa?”“Ayah tahu, seks.” dia hampir saja tertawa sekarang.
“Ketika seorang lelaki dan wanita sudah telanjang dan memainkan bagiannya masin-masing?”
“Ya, aku tahu seks,” aku membela diri.
“Lagipula kamu pikir darimana suamimu berasal?”
“Yah, aku hanya khawatir kalau Ayah sudah melupakannya. Maksudku, apa Ayah tak merindukan hal itu?”
“Terima kasih atas perhatianmu, tapi aku sudah terlalu tua untuk hal seperti itu.”
“Hei! Lelaki tak pernah bosan dengan hal itu. Setidaknya begitulah dengan putramu.”
“Anakku jauh lebih muda dariku, dan dia mempunyai seorang istri yang cantik.”
“Terima kasih, tapi aku masih tetap menganggap Ayah membutuhkannya,” dia menekankan suaranya pada kata
‘Ayah’.
“Terima kasih sudah ngobrol,” kataku, masih terdengar sengit.Cerita Sex Pembantu
Ada sedikit jeda pada perbincangan itu, saat dia masih menekan kehidupan seksualku. Aku pikir bukanlah
urusannya untuk mencampuri hal itu meskipun kadang aku membayangkannya juga.
Dia pandang bayinya, yang akhirnya tertidur, dan memberinya sebuah senyuman rahasia, sepertinya mereka
berdua akan berbagi sebuah rahasia besar.
Masih memandangnya, tapi dia berbicara padaku, “Kalau Ayah mau… aku nggak menolak.”
“Apa!!!?”
“Aku serius.” Mirna menatapku.
“Kalau Ayah menginginkan aku… Ayah adalah seorang lelaki yang tampan. Ayah membutuhkan seks. Disamping
itu, aku bersedia, kan?”
Aku pikir dia sedang bercanda. Tapi wanita yang menggoda ini tidak sedang main-main. Tapi tetap saja tak
mungkin aku melakukannya dengan istri dari anak kandungku sendiri.
“Terima kasih atas tawarannya, tapi kupikir aku akan menolak tawaranmu.” suaraku terdengar penuh dengan
keraguan saat mengucapkannya.
Mirna mencibirkan bibir bawahnya, aku tak bisa menduga apa yang sedang dirasakannya. Dia tetap terlihat
menawan, dan aku merasa Yoyok sangat beruntung.Dia bicara dengan pelan.
“Dengar, Yoyok tak akan tahu. Maksudku, aku tak akan mengatakannya kalau Ayah juga menjaga rahasia. Dan
bukan berarti aku menawarkan diriku pada setiap lelaki yang kutemui. Aku bukan wanita seperti itu dan
aku bisa mengatur agar sering berkunjung kemari. Dan aku tahu Ayah menganggapku cukup menarik kan, sebab
aku sering melihat Ayah memandangi pantatku.”
Aku tak mungkin menyangkalnya. Mirna mungkin tak terlalu tinggi, tapi dia memiliki bongkahan pantat yang
indah diatas kedua kakinya.
“Ya, kamu memang memiliki pantat yang indah. Tapi itu bukan berarti kalau aku ingin berselingkuh dengan
menantuku sendiri.”
Dia berhenti sejenak, tapi Mirna kelihatannya tak akan menyerah begitu saja.
“Yah, tapi jangan lupa.
“Kalau Ayah mau… aku nggak menolak.”
Dan itulah awal dari semua ini.
Seiring minggu yang berlalu, entah di sengaja atau tidak, dia seakan selalu berusaha untuk menggodaku,
membuat puting sususnya menyentuh dadaku saat dia menyerahkan bayinya padaku untuk ku gendong. Atau dia
masukkan jarinya di mulutnya saat Yoyok tak melihat, dan menghisapnya dengan pandangan penuh kenikmatan
ke arahku. Suatu waktu dia duduk di lantai dengan kaki menyilang dan sedang bermain dengan bayinya, dia
memandangku tepat di mata, tersenyum, dan menyentuh pangkal paha di balik celana jeansnya. Aku tak akan
melupakan hal itu.
Dan dia entah bagaimana selalu menemukan cara untuk berduaan denganku walaupun sesaat, dan dia memberiku
ciuman singkat yang penuh gairah, tepat di bibir. Itu semua dilakukannya berulang-ulang.
“Kalau Ayah mau… aku nggak menolak,” dia berbisik di belakang Yoyok saat suaminya itu sedang memasukkan
DVD pada player.
“Kalau Ayah mau… aku nggak menolak,” dia berbisik saat mendekat untuk menyodorkan minuman padaku.
“Kalau Ayah mau… aku nggak menolak,” dia membisikkannya setiap kali dia berpamitan.
Dan sekarang, aku bukanlah terbuat dari batu, dan aku tak akan bilang tingkah lakunya itu tidak
memberikan pengaruh terhadapku. Mirna sangat manis dan mungil, dan meskipun setelah melahirkan bayi
pertamanya tak membuat tubuhnya berubah seperti kebanyakan wanita. Dia tetap langsing, dan manis, dan
dia menawarkan dirinya untuk kumiliki. Tapi aku tak akan memulai langkah pertama untuk tidur dengan
menantuku sendiri, tak perduli semudah apapun itu.
Setidaknya itulah yang tetap kukatakan pada diriku sendiri.
Beberapa minggu yang lalu kami semua berkumpul di rumahku untuk melihat pertandingan bola. Aku mengambil
beberapa kaleng minuman dan sedang berada di dapur untuk menyiapkan beberapa makanan ringan saat Mirna
muncul dari balik pintu itu.
“Hai!” sapanya, membuka pintu dan masuk ke dapur.
“Ayah sudah siap untuk pertandingan nanti?”
“Hampir. Aku sedang membuat makanan untuk keluarga kecil kita, dan aku punya beberapa wortel untuk
cucuku. Aku pikir dia akan suka dan warnanya sama dengan kesebelasan yang akan bertanding nanti, kan?”
Mirna tertawa dan berkata. “Aku rasa dia tak akan perduli. Disamping itu bukankah ada hal lain yang
lebih baik yang bisa Ayah kerjakan untukku?”
“Jangan menggodaku. Aku seorang kakek dan aku akan lakukan apa yang menurutku akan disukai oleh cucuku.”
aku memandangnya.
Mirna berdiri di sana memakai bandana merah kesukaannya diatas rambutnya yang sebahu.
Dia memakai kaos yang sedikit ketat yang bahkan tak sampai ke pinggangnya, dan pusarnya mengedip padaku
dibalik kaosnya. Kancing jeansnya membuatnya kelihatan seperti anak-anak diera bunga tahun 60an, dan dia
memakai sandal dengan bagian bawah yang tebal yang menjadikannya lebih tinggi sepuluh centi. Kuku
kakinya dicat merah senada dengan lipstiknya, dan itu menjadi terlihat dengan sangat menarik dibalik
denimnya.
Dia selalu suka mengenakan perhiasan, dan dia memakainya pada leher, telinga, pergelangan tangan dan
bahkan di jari kakinya. Dia membuatku berandai-andai jika saja aku masih remaja, jadi aku dapat memacari
gadis sepertinya. Mungkin suatu waktu nanti aku harus pergi ke kampus dan mencari gadis-gadis.
Khayalanku terhenti saat menyadari kalau Yoyok dan bayinya tidak mengikutinya masuk.
“Mana anggota keluargamu yang lainnya?” aku bertanya ingin tahu.
“Mereka akan segera datang. Yoyok pergi ke toko perkakas untuk membeli peralatan mesin cuci yang rusak.
Dia ingin membawa serta anaknya. ‘Perjalanan ke toko perkakas yang pertama bersama Ayah’ kurasa yang
dikatakannya padaku.” dia tersenyum.
“Apa Ayah mempermasalahkan saat pertama kalinya mengajak Yoyok ke toko perkakas?”
“Aku tak ingat,” aku berkata dengan garing.
Mirna mendekat padaku, dan menaruh tangannya melingkari leherku.
“Ini kesempatan Ayah. Kalau Ayah mau… aku nggak menolak.”
Mirna memandangku tepat di mata dan mengangkat tubuhnya dan menciumku lama dan liar. Aku ingin
mendorongnya, tapi aku tak tahu dimana aku harus menaruh tanganku. Aku tak mau menyentuh pinggang
telanjang itu, dan jika aku menaruh tanganku di dadanya aku pasti akan menyentuh puting susunya. Saat
aku masih terkejut dan bingung, aku temukan diriku menikmati ciumannya. Ini sudah terlalu lama, dan aku
merasa telah lupa akan rasa lapar yang mulai tumbuh dalam diriku.
Akhirnya aku menghentikan ciuman itu dan mundur dan melepaskan tangannya dari leherku.
“Kita tak bisa melakukannya.” aku mencoba menyampaikannya dengan lembut, tapi aku takut itu kedengaran
seperti rajukan.
“Ya kita bisa.” Mirna kembali menaruh lengannya di leherku dan mendorong bibirku ke arahnya.
Ada gairah yang lebih lagi dalam ciuman kali ini, dan akhirnya penerimaanku. Kali ini saat kami
berhenti, ada sedikit kekurangan udara diantara kami berdua, dan aku semakin merasa sedikit bimbang.
Mirna memandangku dengan binar di matanya dan sebuah senyuman di bibirnya.
“Ayah menginginkanku. Aku bisa merasakannya. Ayah tak mendapatkan wanita setahun belakangan ini, dan
Ayah tak mempunyai tempat untuk melampiaskannya. Dan aku menginginkan Ayah. Jadi tunggu apa lagi…”Pada
sisi ini aku tak mampu berkomentar.
Aku menginginkannya. Tapi aku tak dapat meniduri menantuku, bisakah aku? Tapi aku menginginkan dia. Aku
merasa pertahananku melemah, dan saat Mirna menciumku lagi, aku jadi sedikit terkejut saat menyadari
diriku membalas ciumannya dengan rakus.
“Mmmmm. Itu lebih baik,” katanya saat kami berhenti untuk mengambil nafas.
Mirna menarik tangannya dari leherku dan mulai melepaskan kancing celanaku saat menciumku kembali lalu
dia mundur. Jadi dia bisa melihat saat dia melepaskan kancing jeansku, menurunkan resletingnya, dan
merogoh ke dalam untuk mengeluarkan barangku. Aku terkejut saat terlihat jadi tampak lebih besar di
genggaman tangannya yang kecil. Setahun sudah tak disentuh oleh wanita , dan bereaksi dengan cepat,
menjadi keras dan cairan pre-cumnya keluar saat dia mengocoknya dengan lembut.
Mirna mundur dan duduk. Saat kepalanya turun, dia menempatkan bibirnya di pangkal penisku yang basah.
“Aku rasa aku menyukai bentuknya,” bisiknya sambil menatap mataku.
Lalu kemudian dia membuka mulutnya dan dengan perlahan memasukkan penisku ke dalam mulutnya. Ke dalam
dan lebih dalam lagi penisku masuk dalam mulutnya yang lembut, hangat dan basah, dan aku merasa berada
di dalam vagina yang basah dan kenyal saat lidahnya menari di penisku. Akhirnya aku merasa telah berada
sedalam yang ku mampu, bibirnya menyentuh rambut kemaluanku dan kepala penisku berada entah di mana jauh
di tenggorokannya. Penisku tanpa terasa mengejang, dan pinggangku bergerak berlawanan arah dengannya,
dan bersiap untuk menyetubuhi wajahnya.
Tapi Mirna perlahan menjauhkan mulutnya dariku, menimbulkan suara seperti sedang mengemut permen. Saat
dia bangkit untuk menciumku lagi, aku mengarahkan tanganku diantara pahanya. Aku gosok jeansnya dan dia
menggeliat karenanya.
“Mmmm, itu pasti nikmat,” katanya.
“Tapi biar aku membuatnya jadi lebih mudah.”
Mirna melepaskan kancing celananya dan menurunkan resletingnya, memperlihatkan celana dalam katunnya
yang bergambar beruang kecil. Diturunkannya celananya dan melepaskannya dari tubuhnya. Kami melihat ke
bawah pada area gelap dibawah sana dimana kewanitaannya bersembunyi, dan kemudian aku sentuh perutnya
yang kencang dan terus menurunkan celana dalamnya.
Mirna mengerang dalam kenikmatan saat tanganku mencapai sasarannya dibalik celana dalamnya. Vaginanya
serasa selembut pantat bayi, dan aku sadar kalau dia pasti telah mencukurnya sebelum kemari. Terasa
basah dan licin oleh cairan kewanitaannya dan membuatku kagum karena itu tak menimbulkan bekas basah di
luar jeansnya. Saat tanganku menyelinap dibalik bibir vaginanya dan menyentuh klitorisnya yang mengeras,
dia memejamkan matanya dan menekan berlawanan arah dengan jariku.
Mirna menaruh salah satu tangannya di leherku dan mendorong kami untuk sebuah ciuman intensif berikutnya
sedangkan tangannya yang lain mengocok penisku dan tanganku terus bergerak dalam lubang basahnya. Saat
kami berhenti untuk bernafas, Mirna mundur dan mengatakan sesuatu yang mengejutkan,
“Yoyok datang.” Aku segera melepasnya dan menuju jendela. Ya, mobil Yoyok terlihat di jalan sedang
menuju kemari.
Mirna pasti melihatnya dari balik bahuku saat kami saling mencumbui leher. Tiba-tiba perasaan bersalah
datang menerkam karena hampir saja ketahuan. Aku tak percaya apa yang hampir saja kami lakukan. Dengan
tergesa-gesa aku kenakan kembali celanaku, tapi Mirna menghentikanku dan menangkap tanganku dan
melanjutkan kocokannya.
“Hei, tidak boleh. Tak semudah itu Ayah boleh mengakhirinya. Aku telah menunggu terlalu lama untuk ini.”
“Tapi Yoyok hampir datang! Dia akan melihat kita!”
Mirna mengeluarkan penisku dan berjalan ke arah meja dapur.
“Ini perjanjiannya,” katanya.
“Aku tak akan mengadu pada Yoyok tentang apa yang baru saja kita lakukan kalau Ayah dapat dapat
mengeluarkan seluruh sperma Ayah dalam vaginaku sebelum dia sampai kemari.” Sambil berkata begitu, dia
menurunkan celananya hingga lutut dan membungkuk di meja itu.“Dia segera datang!” hampir saja aku
teriak.“Tidak.”
Mirna membentangkan kakinya sejauh celananya memungkinkan untuk itu dan dia memandangku lewat bahunya.
“Dia harus menggendong bayi dan mengeluarkan semua barangnya. Biasanya dia memerlukan beberapa menit.
Sekarang kemarilah dan setubuhi aku.”
Mirna telah telanjang dari pinggang hingga kaki, dan dia memohon padaku agar segera memasukkan diriku
dalam tubuhnya. Aku menatap dua lubang yang mengundang itu. Pantatnya begitu kencang dan aku tak terusik
saat melihat lubang anusnya yang berkerut kemerahan, dan di bawahnya, bibir vaginanya yang merah,
terlihat mengkilap basah. Kakinya tak sejenjang model, tapi lebih kecil dan terasa pas, dan aku
membayangkan bercinta dengannya beberapa jam.
Tangannya bergerak kebelakang diantara pahanya dan menempatkan tangannya pada vaginanya. Dengan dua
jarinya dilebarkannya bibir vaginanya hingga terbuka, dan aku dapat melihat lubang merah mudanya
mengundang penisku agar segera masuk.
“Ayo,” katanya.
“Ambil aku.”
Aku tak tahu apa dia sedang bercanda saat mengatakannya. Yoyok atau bukan, rangsangan ini lebih dari
cukup untuk mereguk birahinya. Aku melangkah ke belakang menantuku dan menempatkan penisku di
kewanitaannya. Saat aku mendorong penisku melewati lubang surganya yang sempit, aku dapat merasakan jari
Mirna menahan bibir madunya agar tetap terbuka, dan dia melenguh saat aku memegang pinggangnya dan
memasukkan diriku padanya.
Mirna telah sangat basah hingga aku dengan mudah melewati vagina mudanya yang sempit. Aku mulai
mengayunkan barangku di dalamnya, sebagian didorong oleh nafsu akan tubuh menggairahkannya dan sebagian
oleh rasa takut jika Yoyok memergoki kami. Mirna mengerang, dan aku dapat merasakan jarinya menggosok
kelentit dan bibir vaginanya sendiri. Nafasnya mulai tersengal, dan setelah beberapa goyangan dariku,
dia segera orgasme. Suara rengekan pelan keluar dari bibirnya saat dia mencengkeram pinggiran meja
dengan kuat, dan letupan orgasmenya menggoncang kami berdua saat aku menghentaknya.
Itu cukup untuk menghantarku. Aku tak berhubungan dengan wanita dalam setahun ini, dan aku belum pernah
mendapatkan yang sepanas Mirna. Aku menahan nafas dan mendorong seluruh kelaki-lakianku ke dalam
dirinya. Kami mematung, dan kemudian spermaku menyemprot dengan hebat jauh di dalam surganya. Serasa aku
telah mengguyurnya dengan sperma yang panas dan berlebih. Dia mengerang dalam nikmat, menggetarkan
pantatnya di seputar penisku saat aku mengosongkan persediaan benihku. Dia melemah seiring dengan
habisnya spermaku, dan kami akhirnya berhenti bergerak, kecuali untuk mengambil nafas.
Takut Yoyok akan datang sebelum kami sempat melepaskan diri, aku keluarkan diriku dari tubuhnya dengan
bunyi plop yang basah, lalu mundur menjauh dan mengenakan celanaku. Mirna masih tetap berbaring
tertelungkup di atas meja merasakan kehangatan campuran cairan birahi kami, pantat telanjangnya masih
tetap memanggilku. Aku lihat spermaku dan cairannya mulai meleleh keluar dari bibir surganya.
Aku palingkan muka dan melihat Yoyok hampir sampai di pintu belakang, bayi di tangan yang satu dan
belanjaan di tangan lainnya.
Aku berbalik dan memohon pada Mirna.
” Ayolah!” kataku.
“Kamu telah dapatkan keinginanmu. Dia hampir sampai kemari.”
Mirna bangkit, tatapan matanya masih kelihatan linglung. Dia bergerak ke depanku, menjadikanku sebagai
penghalang dari pandangan suaminya saat dia dengan tergesa-gesa memakai celananya.
“Apa kalian sudah siap untuk pertandingannya?” tanya Yoyok sambil membuka pintu.
“Ya,” aku menjawab dari balik punggungku saat aku diam untuk menghalangi Mirna yang menaikkan
resletingnya.
Setelah dia selesai, aku segera berbalik untuk menyambut Yoyok.
“Ini,” katanya, menyodorkan bayinya padaku dan meletakkan belanjaannya diatas meja dapur.
“Urus ini, aku akan mengambil popok bayi.” Yoyok melangkah ke pintu yang masih terbuka, dan aku
menghampiri Mirna. Dia masih terlihat sedikit linglung.
“Hampir saja,” kataku.
“Sini, biar aku yang menggendongnya.”Aku berikan bayinya.
Mirna memberiku pemandangan seraut wajah dari seorang wanita yang puas sehabis bersetubuh, dan memberiku
ciuman hangat yang basah.
“Masih ada satu hal lagi yang harus kuketahui,”katanya.
“Apa itu?”Kalau aku ingin, bisakah aku mendapatkannya besok?” Dan dia melenggang begitu saja tanpa menunggu jawabanku yang hanya melongo bengong. Dia yakin kalau akan bersedia.
Post a Comment