Cerita seks 2019 Romantis saat di Intensive Care Unit
Cerita seks 2019 Romantis saat di Intensive Care Unit
Usia
Bu Harjono sebenarnya tidak muda lagi. Mungkin menjelang 50 tahun.
Sebab suaminya, Pak Harjono yang menjabat Ketua RT di kampungku,
sebentar lagi memasuki masa pensiun. Aku mengetahui itu karena
hubunganku dengan keluarga Pak Harjono cukup dekat. Maklum sebagai
tenaga muda aku sering diminta Pak Harjono untuk membantu berbagai
urusan yang berkaitan dengan kegiatan RT.Namun berbeda dengan suaminya
yang sering sakit-sakitan, sosok istrinya wanita beranak yang kini
menetap di luar Jawa mengikuti tugas sang suami itu, jauh berkebalikan.
Kendati usianya hampir memasuki kepala lima, Bu Har (begitu biasanya aku
dan warga lain memanggil) sebagai wanita belum kehilangan daya
tariknya. Memang beberapa kerutan mulai nampak di wajahnya. Tetapi buah
dadanya, pinggul dan pantatnya, sungguh masih mengundang pesona. Aku
dapat mengatakan ini karena belakangan terlibat perselingkuhan panjang
dengan wanita berpostur tinggi besar tersebut.Kisahnya berawal ketika
Pak Harjono mendadak menderita sakit cukup serius. Ia masuk rumah sakit
dalam keadaan koma dan bahkan berhari-hari harus berada di ruang ICU
(Intensive Care Unit) sebuah RS pemerintah di kotaku. Karena ia tidak
memiliki anggota keluarga yang lain sementara putri satu-satunya berada
di luar Jawa, aku diminta Bu Har untuk membantu menemaninya selama
suaminya berada di RS menjalani perawatan. Dan aku tidak bisa menolak
karena memang masih menganggur setamat SMA setahun lalu.
“Kami
bapak-bapak di lingkungan RT memita Mas Rido mau membantu sepenuhnya
keluarga Pak Harjono yang sedang tertimpa musibah. Khususnya untuk
membantu dan menemani Bu Har selama di rumah sakit. Mau kan Mas Rido,?”
Begitu kata beberapa anggota arisan bapak-bapak kepadaku saat menengok
ke rumah sakit. Bahkan Pak Nandang, seorang warga yang dikenal dermawan
secara diam-diam menyelipkan uang Rp 100 ribu di kantong celanaku yang
katanya untuk membeli rokok agar tidak menyusahkan Bu Har. Dan aku tidak
bisa menolak karena memang Bu Har sendiri telah memintaku untuk
menemaninya.wine4d dot com
Hari-hari
pertama mendampingi Bu Har merawat suaminya di RS aku dibuat sibuk.
Harus mondar-mandir menebus obat atau membeli berbagai keperluan lain
yang dibutuhkan. bahkan kulihat wanita itu tak sempat mandi dan sangat
kelelahan. Mungkin karena tegang suaminya tak kunjung siuman dari
kondisi komanya. Menurut dokter yang memeriksa, kondisi Pak Harjono yang
memburuk diduga akibat penyakit radang lambung akut yang diderita. Maka
akibat komplikasi dengan penyakit diabetis yang diidapnya cukup lama,
daya tahan tubuhnya menjadi melemah.
Menyadari
penyakit yang diderita tersebut, yang kata dokter proses penyembuhannya
dapat memakan waktu cukup lama, berkali-kali aku meminta Bu Har untuk
bersabar. “Sudahlah bu, ibu pulang dulu untuk mandi atau beristirahat.
Sudah dua hari saya lihat ibu tidak sempat mandi. Biar saya yang di sini
menunggui Pak Har,” kataku menenangkan.
Saranku
rupanya mengena dan diterima. Maka siang itu, ketika serombongan
temannya dari tempatnya mengajar di sebuah SLTP membesuk (oh ya Bu Har
berprofesi sebagai guru sedang Pak Har karyawan sebuah instansi
pemerintah), ia meminta para pembesuk untuk menunggui suaminya. “Saya
mau pulang dulu sebentar untuk mandi diantar Nak Rido. Sudah dua hari
saya tidak sempat mandi,” katanya kepada rekan-rekannya.
Dengan
sepeda motor milik Pak Har yang sengaja dibawa untuk memudahkan aku
kemana-mana saat diminta tolong oleh keluarga itu, aku pulang
memboncengkan Bu Har. Tetapi di perjalanan dadaku sempat berdesir.
Gara-gara mengerem mendadak motor yang kukendarai karena nyaris menabrak
becak, tubuh wanita yang kubonceng tertolak ke depan. Akibatnya di
samping pahaku tercengkeram tangan Bu Har yang terkaget akibat kejadian
tak terduga itu, punggungku terasa tertumbuk benda empuk. Tertumbuk buah
dadanya yang kuyakini ukurannya cukup besar.
Ah,
pikiran nakalku jadi mulai liar. Sambil berkonsentrasi dengan sepeda
motor yang kukendarai, pikiranku berkelana dan mengkira-kira
membayangkan seberapa besar buah dada milik wanita yang memboncengku.
Pikiran kotor yang semestinya tidak boleh timbul mengingat suaminya
adalah seorang yang kuhormati sebagai Ketua RT di kampungku. Pikiran
nyeleneh itu muncul, mungkin karena aku memang sudah tidak perjaka lagi.
Aku pernah berhubungan seks dengan seorang WTS kendati hanya satu kali.
Hal itu dilakukan dengan beberapa teman SMA saat usai pengumuman hasil
Ebtanas.
Setelah
mengantar Bu Har ke rumahnya yang berjarak sekitar 100 meter dari
rumahku, aku pamit pulang mengambil sarung dan baju untuk ganti. “Jangan
lama-lama nak Rido, ibu cuma sebentar kok mandinya. Lagian kasihan
teman-teman ibu yang menunggu di rumah sakit,” katanya.
Dan
sesuai yang dipesannya, aku segera kembali ke rumah Pak Har setelah
mengambil sarung dan baju. Langsung masuk ke ruang dalam rumah Pak Har.
Ternyata, di meja makan telah tersedia segelas kopi panas dan beberapa
potong kue di piring kecil. Dan mengetahui aku yang datang, terdengar
suara Bu Har menyuruhku untuk menikmati hidangan yang disediakan. “Maaf
Nak Rido, ibu masih mandi. Sebentar lagi selesai,” suaranya terdengar
dari kamar mandi di bagian belakang.
Tidak
terlalu lama menunggu, Ia keluar dari kamar mandi dan langsung menuju
ke kamarnya lewat di dekat ruang makan tempatku minum kopi dan makan
kue. Saat itu ia hanya melilitkan handuk yang berukuran tidak terlalu
besar untuk menutupi tubuhnya yang basah. Tak urung, kendati sepintas,
aku sempat disuguhi pemandangan yang mendebarkan. Betapa tidak, karena
handuk mandinya tak cukup besar dan lebar, maka tidak cukup sempurna
untuk dapat menutupi ketelanjangan tubuhnya.
Ah,..
benar seperti dugaanku, buah dada Bu Har memang berukuran besar. Bahkan
terlihat nyaris memberontak keluar dari handuk yang melilitnya. Bu Har
nampaknya mengikat sekuatnya belitan handuk yang dikenakanannya tepat di
bagian dadanya. Sementara di bagian bawah, karena handuk hanya mampu
menutup persis di bawah pangkal paha, kaki panjang wanita itu sampai ke
pangkalnya sempat menarik tatap mataku. Bahkan ketika ia hendak masuk ke
kamarnya, dari bagian belakang terlihat mengintip buah pantatnya.
Pantat besar itu bergoyang-goyang dan sangat mengundang saat ia
melangkah. Dan ah, .. yang tak kalah syur, ia tidak mengenakan celana
dalam.
Bicara
ukuran buah dadanya, mungkin untuk membungkusnya diperlukan Bra ukuran
38 atau lebih. Sebagai wanita yang telah berumur, pinggangnya memang
tidak seramping gadis remaja. Tetapi pinggulnya yang membesar sampai ke
pantatnya terlihat membentuk lekukan menawan dan sedap dipandang.
Apalagi kaki belalang dengan paha putih mulus miliknya itu, sungguh
masih menyimpan magnit. Maka degup jantungku menjadi kian kencang
terpacu melihat bagian-bagian indah milik Bu Har. Sayang cuma sekilas,
begitu aku membatin.
Tetapi
ternyata tidak. Kesempatan kembali terulang. Belum hilang debaran
dadaku, ia kembali keluar dari kamar dan masih belum mengganti handuknya
dengan pakaian. Tanpa mempedulikan aku yang tengah duduk terbengong, ia
berjalan mendekati almari di dekat tempatku duduk. Di sana ia mengambil
beberapa barang yang diperlukan. Bahkan beberapa kali ia harus
membungkukkan badan karena sulitnya barang yang dicari (seperti ia
sengaja melakukan hal ini).
Tak
urung, kembali aku disuguhi tontonan yang tak kalah mendebarkan. Dalam
jarak yang cukup dekat, saat ia membungkuk, terlihat jelas mulusnya
sepasang paha Bu Har sampai ke pangkalnya. Paha yang sempurna, putih
mulus dan tampak masih kencang. Dan ketika ia membungkuk cukup lama,
pantat besarnya jadi sasaran tatap mataku. Kemaluannya juga terlihat
sedikit mengintip dari celah pangkal pahanya. Perasaanku menjadi tidak
karuan dan badanku terasa panas dingin dibuatnya.
Apakah
Bu Har menganggap aku masih pemuda ingusan? Hingga ia tidak merasa
canggung berpakaian seronok di hadapanku? Atau ia menganggap dirinya
sudah terlalu tua hingga mengira bagian-bagian tubuhnya tidak lagi
mengundang gairah seorang laki-laki apalagi laki-laki muda sepertiku?
Atau malah ia sengaja memamerkannya agar gairahku terpancing?
Pertanyaan-pertanyaan itu serasa berkecamuk dalam hatiku. Bahkan terus
berlanjut ketika kami kembali berboncengan menuju rumah sakit.
Dan
yang pasti, sejak saat itu perhatianku kepada Bu Har berubah total. Aku
menjadi sering mencuri-curi pandang untuk dapat menatapi bagian-bagian
tubuhnya yang kuanggap masih aduhai. Apalagi wine4d dot com
setelah mandi dan berganti
pakaian, kulihat ia mengenakan celana dan kaos lengan panjang ketat yang
seperti hendak mencetak tubuhnya. Gairahku jadi kian terbakar kendati
tetap kupendam dalam-dalam. Dan perubahan yang lain, aku sering
mengajaknya berbincang tentang apa saja di samping selalu sigap
mengerjakan setiap ia membutuhkan bantuan. Hingga hubungan kami semakin
akrab dari waktu ke waktu.
Sampai
suatu malam, memasuki hari kelima kami berada di rumah sakit, saat itu
hujan terus mengguyur sejak sore hari. Maka orang-orang yang menunggui
pasien yang dirawat di ruang ICU, sejak sore telah mengkapling-kapling
teras luar bangunan ICU. Maklum, di malam hari penunggu tidak boleh
memasuki bagian dalam ruang ICU. Dan pasien biasanya memanfaatkan teras
yang ada untuk tiduran atau duduk mengobrol. Dan malam itu, karena
guyuran hujan, lahan untuk tidur jadi menyempit karena pada beberapa
bagian tempias oleh air hujan. Sementara aku dan Bu Har yang baru
mencari kapling setelah makan malam di kantin, menjadi tidak kebagian
tempat.
Setelah
mencari cukup lama, akhirnya aku mengusulkan untuk menggelar tikar dan
karpet di dekat bangunan kamar mayat. Aku mengusulkan itu karena
jaraknya masih cukup dekat dengan ruang ICU dan itu satu-satunya tempat
yang memungkinkan untuk berteduh kendati cukup gelap karena tidak ada
penerangan di sana. Awalnya Bu Har menolak, karena posisinya di dekat
kamar mayat. Namun akhirnya ia menyerah setelah mengetahui tidak ada
tempat yang lain dan aku menyatakan siap berjaga sepanjang malam.
“Janji
ya Rid (setelah cukup akrab Bu Har tidak mengembel-embeli sebutan Nak
di depan nama panggilanku), kamu harus bangunkan ibu kalau mau kencing
atau beli rokok. Soalnya ibu takut ditinggal sendirian,” katanya.
“Wah, persediaan rokokku lebih dari cukup kok bu. Jadi tidak perlu kemana-mana lagi,” jawabku.
Nyaman
juga ternyata menempati kapling dekat kamar mayat. Bisa terbebas dari
lalu-lalang orang hingga bisa beristirahat cukup tenang. Dan kendati
gelap tanpa penerangan, bisa terbebas dari cipratan air hujan karena
tempat kami menggelar tikar dan karpet terlindung oleh tembok setinggi
sekitar setengah meter. Sambil tiduran agak merapat karena sempitnya
ruang yang ada, Bu Har mengajakku ngobrol tentang banyak hal. Dari soal
kerinduannya pada Dewi, anaknya yang hanya bisa pulang setahun sekali
saat lebaran sampai ke soal penyakit yang diderita Pak Harjono. Menurut
Bu Har penyakit diabetis itu diderita suaminya sejak delapan tahun lalu.
Dan karena penyakit itulah penyakit radang lambung yang datang
belakangan menjadi sulit disembuhkan.
“Katanya penyakit diabetes bisa menjadikan laki-laki jadi impotensi ya Bu?”
“Kata siapa, Rid?”
“Eh,.. anu, kata artikel di sebuah koran,” jawabku agak tergagap.
Aku merasa tidak enak berkomentar seperti itu terhadap penyakit yang diderita suami Bu Har.
“Rupanya
kamu gemar membaca ya. Benar kok itu, makanya penyakit kencing manis di
samping menyiksa suami yang mengidapnya juga berpengaruh pada istrinya.
Untung ibu sudah tua,” ujarnya lirih.
Merasa
tidak enak topik perbincangan itu dapat membangkitkan kesedihan Bu Har,
akhirnya aku memilih diam. Dan aku yang tadinya tiduran dalam posisi
telentang, setelah rokok yang kuhisap kubuang, mengubah posisi tidur
memunggungi wine4d dot com
wanita itu. Sebab kendati sangat senang bersentuhan tubuh
dengan wanita itu, aku tidak mau dianggap kurang ajar. Sebab aku tidak
tahu secara pasti jalan pikiran Bu Har yang sebenarnya. Tetapi baru saja
aku mengubah posisi tidur, tangan Bu Har terasa mencolek pinggangku.
“Tidurmu jangan memunggungi begitu. Menghadap ke sini, ibu takut,” katanya lirih.
Aku
kembali ke posisi semula, tidur telentang. Namun karena posisi tidur Bu
Har kelewat merapat, maka saat berbalik posisi tanpa sengaja lenganku
menyenggol buah dada wanita itu. Memang belum menyentuh secara langsung
karena ia mengenakan daster dan selimut yang menutupi tubuhnya.
Malangnya, Bu Har bukannya menjauh atau merenggangkan tubuh, tetapi
malah semakin merapatkan tubuhnya ke tubuhku. Seperti anak kecil yang
ketakutan saat tidur dan mencari perasaan aman pada ibunya.
Baca Juga : Perawan Ku Diambil Adiku Sendiri Saat Aku Tidur
Baca Juga : 7 Fakta dan cerita unik tentang Bercinta
Akhirnya,
dengan keberanian yang kupaksakan – karena ku yakin saat itu Bu Har
belum pulas tertidur – aku mulai mencoba-coba. Seperti yang dimauinya,
aku mengubah kembali posisi tidur miring menghadapinya. Jadilah sebagian
besar tubuhku merapat ketat ke tubuhnya hingga terasa kehangatan mulai
menjalari tubuhku. Sampai di situ aku berbuat seolah-olah telah mulai
lelap tertidur sambil menunggu reaksinya.
Reaksinya,
Bu Har terbangkit dan menarik selimut yang dikenakannya. Selimut besar
dan tebal itu ditariknya untuk dibentangkan sekaligus menutupi tubuhku.
Jadilah tubuh
kami
makin berhimpitan di bawah satu selimut. Akhirnya, ketika aku nekad
meremas telapak tangannya dan ia membalas dengan remasan lembut, aku
jadi mulai berani beraksi lebih jauh.
Kumulai
dengan menjalari pahanya dari luar daster yang dikenakannya dengan
telapak tanganku. Ia menggelinjang, tetapi tidak menolakkan tanganku
yang mulai nakal itu. Malah posisi kakinya mulai direnggangkan yang
memudahkanku menarik ke atas bagian bawah dasternya. Baru ketika usapan
tanganku mulai menjelajah langsung pada kedua pahanya, kuketahui secara
pasti ia tidak menolaknya. Tanganku malah dibimbingnya untuk menyentuh
kemaluannya yang masih tertutup celana dalam.
Seperti
keinginanku dan juga keinginannya, telapak tanganku mulai menyentuh dan
mengusap bagian membusung yang ada di selangkangan wanita itu. Ia
mendesah lirih saat usapan tanganku cukup lama bermain di sana. Juga
saat tanganku yang lain mulai meremasi buah dadanya dari bagian luar Bra
dan dasternya. Sampai akhirnya, ketika tanganku yang beroperasi di
bagian bawah telah berhasil menyelinap ke bagian samping celana dalam
dan berhasil mencolek-colek celah kemaluannya yang banyak ditumbuhi
rambut, dia dengan suka rela memereteli sendiri kancing bagian depan
dasternya. Lalu seperti wanita yang hendak menyusui bayinya,
dikeluarkannya payudaranya dari Bra yang membungkusnya.
Layaknya
bayi yang tengah kelaparan mulutku segera menyerbu puting susu sebelah
kiri milik Bu Har. Kujilat-jilat dan kukulum pentilnya yang terasa
wine4d dot com
mencuat dan mengeras di mulutku. Bahkan karena gemas, sesekali
kubenamkan wajahku ke kedua payudara wanita itu. Payudara berukuran
besar dan agak mengendur namun masih menyisakan kehangatan.
Sementara
Ia sendiri, sambil terus mendesis dan melenguh nikmat oleh segala
gerakan yang kulakukan, mulai asyik dengan mainannya. Setelah berhasil
menyelinap ke balik celana pendek yang kukenakan, tangannya mulai
meremas dan meremas penisku yang memang telah mengeras. Kata
teman-temanku, senjataku tergolong long size, hingga Ia nampak
keasyikkan dengan temuannya itu. Tetapi ketika aku hendak menarik celana
dalamnya, tubuhnya terasa menyentak dan kedua pahanya dirapatkan
mencoba menghalangi maksudku.
“Mau apa Rid,.. jangan di sini ah nanti ketahuan orang,” katanya lirih.
“Ah, tidak apa-apa gelap kok. Orang-orang juga sudah pada tidur dan tidak bakalan kedengaran karena hujannya makin besar.”
Hujan
saat itu memang semakin deras.Entah karena mempercayai omonganku. Atau
karena nafsunya yang juga sudah memuncak terbukti dengan semakin
membanjirnya cairan di lubang kemaluannya, ia mau saja ketika celananya
kutarik ke bawah. Bahkan ia menarik celana dalamnya ketika aku kesulitan
melakukannya. Ia juga membantu membuka dan menarik celana pendek dan
celana dalam yang kukenakan.
Akhirnya,
dengan hanya menyingkap daster yang dikenakannya aku mulai menindih
tubuhnya yang berposisi mengangkang. Karena dilakukan di dalam gelap dan
tetap dibalik selimut tebal yang kupakai bersama untuk menutupi tubuh,
awalnya cukup sulit untuk mengarahkan penisku ke lubang kenikmatannya.
Namun berkat bimbingan tangan lembutnya, ujung penisku mulai menemukan
wilayah yang telah membasah. Slep.. penis besarku berhasil menerobos
dengan mudah liang sanggamanya.
Aku
mulai menggoyang dan memaju-mundurkan senjataku dengan menaik-turunkan
pantatku. Basah dan hangat terasa setiap penisku membenam di vaginanya.
Sementara sambil terus meremasi kedua buah dadanya secara bergantian,
sesekali bibirnya kulumat. Maka ia pun melenguh tertahan, melenguh dan
mengerang tertahan. Ah, dugaanku memang tidak meleset tubuhnya memang
masih menjanjikan kehangatan. Kehangatan yang prima khas dimiliki wanita
berpengalaman.
Dihujam
bertubi-tubi oleh ketegangan penisku di bagian kewanitannya, Ia mulai
mengimbangi aksiku. Pantat besar besarnya mulai digerakkan memutar
mengikuti gerakan naik turun tubuhku di bagian bawah. Memutar dan terus
memutar dengan gerak dan goyang pinggul yang terarah. Hal itu menjadikan
penisku yang terbenam di dalam vaginanya serasa diremas. Remasan nikmat
yang melambungkan jauh anganku entah kemana. Bahkan sesekali otot-otot
yang ada di dalam vaginanya seolah menjepit dan mengejang.
“Ah,.. ah.. enak sekali. Terus, ah.. ah,”
“Aku
juga enak Rid, uh.. uh.. uh. Sudah lama sekali tidak merasakan seperti
ini. Apalagi punyamu keras dan penjang. Auh,.. ah.. ah,”
Sampai
akhirnya, aku menjadi tidak tahan oleh goyangan dan remasan vaginanya
yang kian membanjir. Nafsuku kian naik ke ubun-ubun dan seolah mau
meledak. Gerakan bagian bawah tubuhku kian kencang mencolok dan mengocok
vaginanya dengan penisku.
“Aku tidak tahan, ah.. ah.. Sepertinya mau keluar, shh, ah, .. ah,”
“Aku juga Rid, terus goyang, ya .. ya,.. ah,”
Setelah
mengelojot dan memuntahkan segala yang tak dapat kubendungnya, aku
akhirnya ambruk di atas tubuh wanita itu. Maniku cukup banyak menyembur
di dalam lubang kenikmatannya. Begitupun Ia, setelah kontraksi otot-otot
yang sangat kencang, ia meluapkan ekspresi puncaknya dengan mendekap
erat tubuhku. Dan bahkan kurasakan punggungku sempat tercakar oleh
kuku-kukunya. wine4d dot com
Cukup lama kami terdiam setelah pertarungan panjang yang
melelahkan.
“Semestinya
kita tidak boleh melakukan itu ya Rid. Apalagi bapak lagi sakit dan
tengah dirawat,” kata Ia sambil masih tiduran di dekatku.
Aku mengira ia menyesal dengan peristiwa yang baru terjadi itu.
“Ya Maaf,.. soalnya tadi,..”
“Tetapi
tidak apa-apa kok. Saya juga sudah lama ingin menikmati yang seperti
itu. Soalnya sejak 5 tahun lebih Pak Har terkena diabetis, ia menjadi
sangat jarang memenuhi kewajibannya. Bahkan sudah dua tahun ini
kelelakiannya sudah tidak berfungsi lagi. Cuma, kalau suatu saat ingin
melakukannya lagi, kita harus hati-hati. Jangan sampai ada yang tahu dan
menimbulkan aib diantara kita,” ujarnya lirih.
Plong,
betapa lega hatiku saat itu. Ia tidak marah dan menyesal dengan yang
baru saja terjadi. Dan yang membuatku senang, aku dapat melampiaskan
hasrat terpendamku kepadanya. Kendati aku merasa belum puas karena
semuanya dilakukan di kegelapan hingga keinginanku melihat ketelanjangan
tubuhnya belum kesampaian.
Dan
seperti yang dipesankannya, aku berusaha mencoba bersikap sewajar
mungkin saat berada diantara orang-orang. Seolah tidak pernah terjadi
sesuatu yang luar biasa diantara kami. Kendati aku sering harus menekan
keinginan yang menggelegak akibat darah mudaku yang gampang panas saat
berdekatan dengannya. Dan sejak itu lokasi teras di belakang kamar mayat
menjadi saksi sekitar tiga kali hubungan sumbang kami. Hubungan sumbang
yang terpaksa kuhentikan seiring kedatangan Bu Hartini, adik Pak
Harjono yang bermaksud menengok kondisi sakit kakaknya. Hanya terus
terang, sejak kehadirannya ada perasaan kurang senang pada diriku. Sebab
sejak Ia ada yang menemani merawat suaminya di rumah sakit, kendati aku
tetap diminta untuk membantu mereka dan selalu berada di rumah sakit,
aku tidak lagi dapat menyalurkan hasrar seksualku. Hanya sesekali kami
pernah nekad menyalurkannya di kamar mandi ketika hasrat yang ada tak
dapat ditahan. Itu pun secara kucing-kucingan dengan Bu Tini dan
segalanya dilaksanakan secara tergesa-gesa hingga tetap tidak memuaskan
kami berdua.
Sampai
suatu ketika, saat Pak Har telah siuman dan perawatannya telah
dialihkan ke bangsal perawatan yang terpisah, Bu Tini menyarankan kepada
Ia untuk tidur di rumah.
“Kamu
sudah beberapa hari kurang tidur Mbak, wine4d dot com
kelihatannya sangat kelelahan.
Coba kamu kalau malam tidur barang satu dua hari di rumah hingga
istirahat yang cukup dan tidak jatuh sakit. Nanti kalau kedua-duanya
sakit malah merepotkan. Biar yang nunggu Mas Har kalau malam aku saja
diteman Dik Rido kalau mau” ujarnya.
Ia
setuju dengan saran adik iparnya. Ia memutuskan untuk tidur di rumah
malam itu. Maka hatiku bersorak karena terbuka peluang untuk
menyetubuhinya di rumah. Tetapi bagaimana caranya pamit pada Bu Tini?
Kalau aku ikut-ikutan pulang untuk tidur di rumah apa tidak mengundang
kecurigaan? Aku jadi berpikir keras untuk menemukan jalan keluar. Dan
baru merasa plong setelah muncul selintas gagasan di benakku.
Sekitar
pukul 22.00 malam, lewat telepon umum kutelepon rumahnya. Wanita itu
masih terjaga dan menurut pengakuannya tengah menonton televisi. Maka
nekad saja kusampaikan niatku kepadanya. Dan ternyata ia memberi
sambutan cukup baik.
“Kamu
nanti memberi tanda kalau sudah ada di dekat kamar ibu ya. Nanti pintu
belakang ibu bukakan. Dan sepeda motornya di tinggal saja di rumah sakit
biar tidak kedengaran tetangga. Kamu bisa naik becak untuk pulang,”
katanya berpesan lewat telepon.
Untuk
tidak mengundang kecurigaan, sekitar pukul 23.00 aku masuk ke bangsal
tempat Pak Har dirawat menemani Bu Tini. Namun setengah jam sesudahnya,
aku pamit keluar untuk nongkrong bersama para Satpam rumah sakit seperti
yang biasa kulakukan setelah kedatangan Bu Tini. Di depan rumah sakit
aku langsung meminta seorang abang becak mengantarku ke kampungku yang
berjarak tak lebih dari satu kilometer. Segalanya berjalan sesuai
rencana. Setelah kuketuk tiga kali pintu kamarnya, kudengar suara Ia
berdehem. Dan dari pintu belakang rumah yang dibukakannya secara
pelan-pelan aku langsung menyelinap masuk menuju ruang tengah rumah
tersebut.
Rupanya,
bertemu di tempat terang membuat kami sama-sama kikuk. Sebab selama ini
kami selalu berhubungan di tempat gelap di teras kamar mayat. Maka aku
hanya berdiri mematung, sedang Ia duduk sambil melihat televisi yang
masih dinyalakannya. Cukup lama kami tidak saling bicara sampai akhirnya
Ia menarik tanganku untuk duduk di sofa di sampingnya. Setelah
keberanianku mulai bangkit, aku mulai berani menatapi wanita yang duduk
di sampingku. Ia ternyata telah siap tempur. Terbukti dari daster tipis
menerawang yang dikenakannya, kulihat ia tidak mengenakan Bra di
baliknya. Maka kulihat jelas payudaranya yang membusung. Hanya, ketika
tanganku mulai bergerilya menyelusuri pangkal paha dan meremasi buah
dadanya ia menolak halus.
“Jangan di sini Rid, kita ke kamar saja biar leluasa,” katanya lirih.
Ketika
kami telah sama-sama naik ke atas ranjang besar di kamar yang biasa
digunakan oleh suami dan dia, aku langsung menerkamnya. Semula Ia
memintaku mematikan dulu saklar lampu yang ada di kamar itu, tetapi aku
menolaknya. “Saya ingin melihat semua milikmu,” kataku.
Persetan
dengan usia, dimataku, Ia masih menyimpan magnit yang mampu
menggelegakkan darah mudaku. Sesaat aku terpaku ketika wanita itu telah
melolosi dasternya. Dua buah gunung kembarnya yang membusung nampak
telah menggantung. Tetapi tidak kehilangan daya pikatnya. Buah dada yang
putih mulus dan berukuran cukup besar itu diujungnya terlihat kedua
pentilnya yang berwarna kecoklatan. Indah dan sangat menantang untuk
diremas. Maka setelah aku melolosi sendiri seluruh pakaian yang
kukenakan, langsung kutubruk wanita yang telah tiduran dalam posisi
menelentang. Kedua payudaranya kujadikan sasaran remasan kedua tanganku.
Kukulum, kujilat dan kukenyot secara bergantian susu-susunya yang besar
menantang. Kesempatan melihat dari dekat keindahan buah dadanya membuat
aku seolah kesetanan. Dan Ia, wanita berhidung bangir dengan rambut
sepundak itu menggelepar. Tangannya meremas-remas rambut kepalaku
mencoba menahan nikmat atas perbuatan yang tengah kulakukan.
Dari
kedua gunung kembarnya, setelah beberapa saat bermain di sana, dengan
terus menjulurkan lidah dan menjilat seluruh tubuhnya kuturunkan
perhatianku ke bagian perut dan di bawah pusarnya. Hingga ketika lidahku
terhalang oleh celana dalam yang masih dikenakannya, aku langsung
memelorotkannya. Ah, vaginanya juga tak kalah indah dengan buah dadanya.
Kemaluan yang besar membusung dan banyak ditumbuhi rambut hitam lebat
itu, ketika kakinya dikuakkan tampak bagian dalamnya yang memerah. Bibir
vaginanya memang nampak kecoklatan yang sekaligus menandakan bahwa
sebelumnya telah sering diterobos kemaluan suaminya. Tetapi bibir
kemaluan itu belum begitu menggelambir. Dan kelentitnya, yang ada di
ujung atas, uh,.. mencuat menantang sebesar biji jagung.
Tak
tahan cuma memelototi lubang kenikmatan wanita itu, mulailah mulutku
yang bicara. Awalnya mencoba membaui dengan hidungku. Ah, ada bau yang
meruap asing di hidungku. Segar dan membuatku tambah terangsang. Dan
ketika lidahku mulai kumainkan dengan menjilat-jilat pelan di seputar
bibir vaginanya besar itu, Ia tampak gelisah dan menggoyang-goyang
kegelian.
“Ih,.. jangan diciumi dan dijilat begitu Rid. Malu ah, tapi, ah..ah.. ah,”
Tetapi
ia malah menggoyangkan bagian bawah tubuhnya saat mulutku mencerucupi
liang nikmatnya. Goyangannya kian kencang dan terus mengencang. Sampai
akhirnya diremasnya kepalaku ditekannya kuat-kuat ke bagian tengah
selangkannya saat kelentitnya kujilat dan kugigit kecil. Rupanya ia
telah mendapatkan orgasme hingga tubuhnya terasa mengejang dan
pinggulnya menyentak ke atas.
“Seumur
hidup baru kali ini vaginaku dijilat-jilat begitu Rid, jadinya cepat
kalah. Sekarang gantian deh Aku mainkan punyamu,” ujarnya setelah
sebentar mengatur nafasnya yang memburu.
Aku
dimintanya telentang, sedang kepala dia berada di bagian bawah tubuhku.
Sesaat, mulai kurasakan kepala penisku dijilat lidah basah milik wanita
itu. Bahkan ia mencerucupi sedikit air maniku yang telah keluar akibat
nafsu yang kubendung. Terasa ada senasi tersendiri oleh permainan
lidahnya itu dan aku menggelinjang oleh permainan wanita itu. Namun
sebagai anak muda, aku merasa kurang puas dengan hanya bersikap pasif.
Terlebih aku juga ingin meremas pantat besarnya yang montok dan seksi.
Hingga aku menarik tubuh bagian bawahnya untuk ditempatkan di atas
kepalaku. Pola persetubuhan yang kata orang disebut sebagai permainan
69. Kembali vaginanya yang berada tepat di atas wajahku langsung menjadi
sasaran gerilya mulutku. Sementara pantat besarnya kuremas-remas dengan
gemas.wine4d dot com
Tidak
hanya itu jilatan lidahku tidak berhenti hanya bermain di seputar
kemaluannya. Tetapi terus ke atas dan sampai ke lubang duburnya. Rupanya
ia telah membersihkannya dengan sabun baik di kemaluannya maupun di
anusnya. Maka tak sedikit pun meruap bau kotoran di sana dan membuatku
kian bernafsu untuk menjilat dan mencoloknya dengan ujung lidahku.
Tindakan nekadku rupanya membuat nafsunya kembali naik ke ubun-ubun.
Maka setelah ia memaksaku menghentikan permainan 69, ia langsung
mengubah posisi dengan telentang mengangkang. Dan aku tahu pasti wanita
itu telah menagih untuk disetubuhi. Ia mulai mengerang ketika batang
besar dan panjang milikku mulai menerobos gua kenikmatannya yang basah.
Hanya karena kami sama-sama telah memuncak nafsu syahwatnya, tak lebih
dari 10 menit saling genjot dan menggoyang dilakukan, kami telah
sama-sama terkapar. Ambruk di kasur empuk ranjang kenikmatannya. Ranjang
yang semestinya tabu untuk kutiduri bersama wanita itu.
Malam
itu, aku dan dia melakukan persetubuhan lebih dari tiga kali. Termasuk
di kamar mandi yang dilakukan sambil berdiri. Dan ketika aku memintanya
kembali yang keempat kali, ia menolaknya halus.
“Tubuh
ibu cape sekali Rid, mungkin sudah terlalu tua hingga tidak dapat
mengimbangi orang muda sepertimu. Dan lagi ini sudah mulai pagi, kamu
harus kembali ke rumah sakit agar Bu Tini tidak curiga,” katanya.
Aku
sempat mencium dan meremas pantatnya saat Ia hendak menutup pintu
belakang rumah mengantarku keluar. Ah,.. indah dan nikmat rasanya.
Usia
Pak Har ternyata tidak cukup panjang. Selama sebulan lebih dirawat di
rumah sakit, ia akhirnya meninggal setelah sebelumnya sempat dibawa RS
yang lebih besar di Semarang. Di Semarang, aku pun ikut menunggui
bersamanya serta Bu Tini selama seminggu. Juga ada Mbak Dewi dan
suaminya yang menyempatkan diri untuk menengok. Hingga hubunganku dengan
keluarga itu menjadi kian akrab.
Namun,
hubungan sumbangku dengannya terus berlanjut hingga kini. Bahkan kami
pernah nekad bersetubuh di belakang rumah keluarga itu, karena kami
sama-sama horny sementara di ruang tengah banyak sanak famili dari
keluarganya yang menginap. Entah kapan aku akan menghentikannya, mungkin
setelah gairahnya telah benar-benar padam.
Post a Comment