Cerita seks Habis pulang dari puncak
Cerita seks Habis pulang dari puncak
Sebagai
seorang konsultan aku sering pergi keluar kota dan menginap di hotel
bisa sampai berbulan-bulan lamanya. Seringnya menginap sekamar bareng
dengan anggota tim lainnya namun kadang juga menginap sendirian.
Pekerjaanku yang bersifat projek jelas sering menuntut waktu ekstra dan
kerja keras sehingga membuatku mengalami keletihan baik fisik dan
mental. Kalau sudah begitu aku segera mencari tukang pijat untuk
mengendorkan urat saraf yang telah amat tegangnya.
Giliranku
kali ini mendapatkan projek di kota B yang berhawa sejuk dan merupakan
kota idolaku. Dulu aku sempat lama berdiam di kota ini ketika kuliah di
salah satu perguruan tinggi ternama di negeri ini. Sebagaimana
projek-projek lain yang sering kukerjakan maka tidak ada perkecualian
projek ini juga menuntut energi dan pikiran ekstra keras karena ketatnya
jadwal. Salah satu hal yang menyebalkan di kota ini adalah masalah taxi
yang buruk kondisinya dan lagi jarang mau menggunakan argo sehingga
harus selalu melakukan negosiasi terlebih dahulu. Oleh sebab itu sering
aku mencari hotel terdekat dengan lokasi projek sehingga dapat dicapai
dengan jalan kaki hanya beberapa menit.
Minggu
ini adalah puncak-puncaknya pekerjaan sehingga keletihan amat sangat
terasa. Hal ini menyebabkan aku malas pulang week end ke kota J di mana
aku tinggal. Kurencanakan Sabtu pagi besok saja untuk pulang menggunakan
kereta api. Karena anggota tim lain selalu pulang ke J (semuanya
berdomisili di J) di akhir minggu maka kini tinggal aku sendirian.
Setelah
makan malam di restoran hotel aku masuk ke kamar sambil nonton
acara-acara TV. Berhubung hotel ini bukan hotel mewah maka channel acara
TV-nya pun terbatas, untuk mengirit ongkos operasional kali. Setelah
satu jam aku mulai dihinggapi kejenuhan. Mau tidur masih amat susah
karena malam begitu larut, baru jam 8an, dan badan yang amat letih
ternyata malah membuat sulit untuk segera beristirahat tidur. Tiba-tiba
aku teringat biasanya hotel ada info layanan pijat. Kucari-cari
brosurnya tidak kutemukan. Tanpa kurang akal kutelpon operator untuk
menanyakan apakah di hotel ini bisa dicarikan tukang pijat. Ah lega
rasanya ketika dijawab bisa dan akan segera diantar.Sambil menunggu
kedatangan tukang pijat aku mulai mencoba kembali menikmati acara-acara
di layar TV. Tapi ternyata pikiranku sudah mulai melantur membayangkan
nikmatnya ketika badan yang pegal hebat ini akan mendapatkan terapi
pijat yang pasti akan memanjakan urat dan saraf-saraf yang telah mulai
menuntut untuk dirilekskan sejak beberapa hari ini. Ah beginilah
nikmatnya masih bujangan (sebagai lelaki berusia 35 aku jelas termasuk
telat menikah, hehe biarin masih enak sendiri kok), waktu masih bisa
diatur sesuka hati. Coba kalau berkeluarga sebagaimana kawan-kawanku
itu, pasti mereka harus buru-buru pulang sementara masih harus berjuang
untuk mendapatkan tiket kereta karena penuhnya calon penumpang di akhir
minggu.
Sejam
kemudian ada suara ketukan pintu, ah sudah datang, batinku dengan
girang. Ketika kubuka aku agak sedikit heran karena tukang pijatnya
ibu-ibu berumur 45-an lebih kira-kira. Tinggi tubuh sekitar 155 cm,
berkulit kuning bersih, wajah sudah menunjukkan usianya yang memang
sudah matang. Dengan mengenakan jaket kain dan bercelana jean yang agak
ketat. Dengan santunnya dia permisi untuk masuk. Kupersilakan dia masuk
sementara pengantarnya yang adalah bell boy kemudian pergi
meninggalkannya.
Baca Juga : Perawan Ku Diambil Adiku Sendiri Saat Aku Tidur
Baca Juga : 7 Fakta dan cerita unik tentang Bercinta
Setelah
di dalam kamar kupersilakan duduk dulu di kursi pojok kamar. Aku ijin
sebentar ke toilet untuk pipis karena aku memang termasuk orang yang
nggak tahan dingin (sudah di kota yang dingin ber-AC pula) sehingga
sering pipis. Daripada nanti pas ditengah-tengah aksi pemijatan aku
kebelet mendingan kukeringkan dulu kantong pipisku. Kan nggak nyaman pas
lagi merem-melek dipijat eh kebelet pipis, pasti akan merepotkan.
Setelah
selesai dari toilet kulepas kaos dan celana pendekku sehingga tinggal
CD saja. Lalu kulihat ibu itu membuka jaketnya sehingga hanya memakai
kaos ketat hitam saja. Wah ternyata si ibu ini masih bagus juga
badannya, kelihatan perut masih kencang. Tanpa banyak buang waktu
langsung aku tengkurap di atas ranjang. Ibu tukang pijat mendekat dan
mengatakan maaf serta mohon ijin untuk mulai pemijatan. Pertama yang
dipijat adalah telapak kaki. Ah nyamannya. Telapak kakiku yang telah
kaku-kaku ditekan-tekan dan kemudian diurut.
Aku
tak mau banyak bicara agar Si Ibu lebih fokus pada pekerjaannya dan aku
konsentrasi agar kenikmatan yang kuraih dari pijatan-pijatan maksimal.
Setelah selesai dari telapak kaki mulailah naik menuju ke betisku yang
tak kalah kakunya. Rupanya betis kaku kalau dipijat menimbulkan rasa
nyeri sehingga aku sedikit meringis. Rupanya Si Ibu tahu kesakitanku
lalu sedikit dikurangi tekanannya. Selesai ditekan-tekan kemudian
diurut-urut. Untuk urut dipakailah cream agar licin.
Begitu sampai menuju paha tiba-tiba kudengar suaranya..
“Den, maaf CD-nya dilepas saja biar nggak kotor kena minyak. Maaf ya.”
Karena
logis alasannya ya kulepas saja meskipun membuatku kikuk (aku sering
dipijat tetapi biasanya pria tuna netra). Aku lepas CD-ku dengan hanya
mengangkat pantat terus kuperosotkan keluar dari kaki. Menurutku Si Ibu
nggak dapat melihat “adikku”. Lalu aku mapan lagi agar pijatan dapat
diteruskan. Mulanya paha luar yang mendapatkan giliran. Setelah kedua
sisi paha luar selesai baru dilanjutkan dengan paha dalam. Dengan
mengurut dari arah bawah menuju atas, stop press!! Bisakah anda
bayangkan?
Jari-jarinya,
kayaknya ibu jarinya (aku nggak bisa lihat sih) secara halus menyenggol
kantong-kantong kejantananku. Serr. Kudiamkan. Kemudian pantatku mulai
dijamahnya dengan cara melingkar dari bawah ke atas luar terus turun
masuk ke dalam dan berakhir di.. Ujung selangkangan persisnya
tengah-tengah antara kedua kantong kejantananku. Serr. Serr. Uenak
sekali. Aku heran agak lama juga dia ini bermain di wilayah sensitif
ini. Tapi biarlah, enak ini. Hehe. Eh ketika sedang enak-enaknya
menikmati jari-jari lihainya yang baru pertama kali kunikmati sensasi
kenikmatan tiada tara ini berlangsung tiba mulai naik ke arah pinggang.
Agak kecewa juga, tapi kutahan biarlah dia menyelesaikan pekerjaannya
sesuai dengan prosedur standar pemijatan yang dia praktekkan.
Begitu
selesai dengan leher belakang sebagai bagian teratas yang dirambahnya,
tiba-tiba dengan ‘cool’-nya memerintahkan untuk telentang. Wah kacau
ini. Bisa ketahuan nih kalau adikku ternyata telah terjaga. Tapi ya
sudahlah biarkan segalanya berlalu dengan alamiah. Yang sudah telanjur
tegak biarlah begitu. Hehe.
Mulai
lagi Si Ibu dari bawah yaitu bagian depan telapak kaki. Mulai saat ini
sudah tidak mampu lagi kunikmati pijatan dari detik ke detik dan setiap
inchi anggota tubuhku. Aku hanya memikirkan apa yang akan dia lakukan
ketika sudah merembet ke arah paha. Gara-gara pikiranku sudah terpandu
oleh kerja hormon testosteronku maka jelas sudah, adikku semakin percaya
diri untuk mengeras sebelum sentuhan terjadi.
Akhirnya
tiba juga saat-saat yang kunantikan. Rupanya teknik yang dia lakukan di
bagian pantatku tadi dipraktekkan juga di bagian depan. Aduh Mami,
enaknya minta ampun, eh nambah. Sempat kutatap wajahnya, kulihat
sekilas-sekilas dia melirik adikku. Hmm rupanya dia ingin tahu efek
pijatannya apakah membuahkan hasil atau tidak. Dan tidak salah dia.
Sukses besar. Bahkan si adik telah sedikit menitikkan cairan.
Ketika
itu dia mencuri pandang ke aku. Aku menangkapnya. Mulai kuamati
wajahnya untuk melihat lebih jelas seperti apa sebenarnya tampang Ibu
ini. Biasa aja. Tidak menarik. Bahkan sudah ada beberapa kerutan.
Sedikit. Tidak terlalu muluslah wajahnya. Tapi tidak berpengaruhlah itu
karena nyatanya adikku tetap saja berdiri kayak tonggak, sedikit miring
karena gravitasi.
Lagi
asyik-asyiknya melayang-layang imajiku akibat aksi pijatan-pijatan yang
berbentuk lingkaran-lingkaran itu tiba-tiba rambahannya sudah menuju
perut. Ah. Sedikit down. Sedikit kecewa. Tunggu dulu, rupanya ketika di
perut masih ada harapan untuk mendapatkan sentuhan-sentuhan dahsyat itu.
Ketika gerak maju-mundur di perut dengan formasi melingkar luar-dalam
juga, ternyata setiap mundur gerakannya dibablaskan sehingga si adik
tetap bisa menikmati sentuhan-sentuhan. Bedanya sekarang yang
mendapatkan anugerah adalah bagian kepala adik. Sip. Sip bener ini. Kok
ya ada tukang pijat sehebat ini. Apakah karena sudah ibu-ibu maka
pengalamannya memijat bertahun-tahun yang membuatnya menjadi piawai
begini? Mustinya iya.
Lalu, akhirnya pijatan di akhir bagian dada. Begitu selesai..
“Mau diapain lagi Den?”
“Maksud Ibu?” Tukasku.
“Maksud Ibu?” Tukasku.
Tersenyum
simpul dia dan.. Tahu-tahu tangannya pura-pura pijat-pijat lagi di
selangkangan tetapi dengan titik kontak gesekan ke ‘adik’ semakin besar
dan lama.
“Oh tahu aku maksudnya”, pikirku.
Tanpa
kujawab mulai kuelus punggungnya (dia duduk di pinggir ranjang dengan
membelakangi). Dia diam dan mulai berani hanya mengelus khusus adikku
saja, tidak lagi pura-pura menyentuh bagian lain. Kusingkap pelan
kaosnya. Astaga, rupanya kondisi dalamnya terawat mulus. Tak kusangka
padahal sudah seumur itu. Menggelegaklah kelelakianku. Tanpa terkontrol
lagi aku yang tadinya telentang bangkit duduk sehingga punggungnya
berhadapan dengan tubuh depanku dan tanganku yang kiri menyingkap
kaosnya lebih ke atas lagi sementara yang kanan ke depan menjamah sang..
Tetek.
Dia
sengaja mencondongkan dirinya ke arahku agar lebih mepet. Kulepas
kaosnya dan dibantu dia sehingga sekarang setengah telanjang dia. Eits!
Bulu keteknya nggak dicukur. Gairahku malah semakin meledak, kubalikkan
badannya agar menghadapku. Dia menunduk mungkin malu atau minder karena
umur atau ketidak cantikannya, entahlah, yang pasti dia telah dengan
ahlinya melepaskan ‘nafsuku’ dari kandangnya. Kurebahkan dia dengan
masih tetap pakai BH karena aku lebih suka menjamah teteknya dengan cara
menyelinapkan tangan.
Kuserbu
keteknya yang berbulu agak lebat itu (kering tanpa ‘burket’, kalaupun
‘burket’ toh nafsuku belum tentu turun) sambil terus meremas tetek.
Kutindih dia. Celana jeans masih belum dilepas. Kususupkan tangan
kananku ke dalamnya. Menyentuh veginya. Basah. Kupindahkan serangan
ciumanku ke lehernya. Mendesah. Lalu mengerang-mengerang lembut dia.
Kehabisan nafas aku, ketika kutarik kepalaku naik untuk mengambil udara
ditarik lagi kepalaku. Ah rupanya ‘G-Spot’nya ada di leher belakang
telinga sebelah kanan. Kuhajar lama dengan dengusan napas hidungku di
wilayah itu. Semakin liar polahnya. Tangan kananku semakin dibasahi
dengan banyak cairan. Kulepas tanganku dan kusuruh dia bangkit.
“Lepaskan BH dan celana ya”.
Tanpa
tunggu lama wajahnya yang sudah merah merona itu mengangguk dan
cepat-cepat semua yang kuingin lepas dilepasnya. Kupandangi sebentar
teteknya, masih lumayan bulat. Kupandangi veginya, wow alangkah
lebatnya. Kurebahkan lagi dengan segera. Kutindih lagi dia. Mengerang
hebat. Nafasku memburu berat. Kukangkangkan pahanya. Dan bless.. Rudalku
telah menghunjam ‘vegi’nya yang telah banjir itu. Kusodok-sodok sekuat
tenaga. Semakin keras erangannya. Kuseret pahanya ke pinggir ranjang,
dengan berdiri kuangkat kakinya menumpang di pundakku, kuarahkan kembali
rudalku menuju veginya yang lenyap ditelan jembut. Kusibakkan terlebih
dulu, lalu bless.. Bless.
“Argh.. Arghh.. Yang cepeth Denn Arghh.. Kencangin laggih Denn.. Auhh.. Ahh..”
Menjelang 10 menit mulai terasa hangat adikku.
“Akkhu.. Sudahh mauu.. Kelluaar.. Bikk.. Ahh.. Ahh”.
“Akkh.. Bibikh.. Jugah.. Denn. Ahh.. Argh”.
“Akkh.. Bibikh.. Jugah.. Denn. Ahh.. Argh”.
Dan
tanpa dapat dibendung lagi jebollah lahar panas dari rudalku menyemburi
lembahnya yang rimbun itu. Pada saat yang bersamaan. Sensasi kimiawi
dari surga telah mengurasku menuju keletihan. Entah kenapa badanku yang
sebelumnya sudah letih banget ternyata masih mampu mengeluarkan tenaga
sebesar ini. Ibu ini memang lihai. Luar biasa kuakui.
Setelah
berbaring-baring sekitar 15 menit Si Ibu minta ijin ke toilet untuk
bersih-bersih diri. Kusiapkan amplop untuk memberinya kompensasi atas
jasa kenikmatan luar biasa yang baru sekali ini kurasakan seumur
hidupku. Tanpa dibukanya amplop itu sambil mengucapkan terima kasih
dengan sopan, dia keluar kamar setelah mengenakan jaketnya kembali.
Sejak
mengenal kenikmatan ‘pijat hotel’ itu, aku mulai sering mencoba-coba.
Di kota B banyak sekali panti-panti yang berkedok pijat namun
sesungguhnya yang ditawarkan adalah lebih dari sekadar pijat. Awalnya
kucoba yang muda-muda dan cantik, akhirnya aku kembali mencari yang
telah senior karena yang masih muda kuanggap belum banyak pengalaman dan
tidak banyak kenikmatan yang kuraih. Di samping itu lebih aman secara
kesehatan dengan yang tua karena jarang dipakai, sementara yang muda dan
cantik laris diantri banyak pria dari berbagai lapisan dan dengan
kondisi kesehatan yang sulit terkontrol pula.
*****
Post a Comment